Bagikan:

JAKARTA – Laporan Komunitas Advokat Lingkar Nusantara (Lisan) terhadap seniman Butet Kartaredjasa dinilai mirip praktik yang terjadi di Zaman Orde Baru sebagai bentuk intimidasi atas kebebasan berekspresi.

Menurut pengamat hukum UGM, Yance Arizona, laporan itu merupakan bentuk intimidasi lanjutan setelah sebelumnya Butet juga mendapatkan dugaan intimidasi sebelum melakukan pertunjukan. Padahal, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, karena telah dijamin di dalam konstitusi.

“Ini bentuk intimidasi ganda yang dialami oleh pekerja seni. Kebebasan berekspresi merupakan hak konstitusional warga negara,” tutur Yance, Minggu 10 Desember.

Dia menegaskan, sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seharusnya aparat atau sejumlah kelompok tidak memperlakukan Butet seperti itu. Lain halnya jika Indonesia menerapkan kepemimpinan otoriter.

Yance mengungkapkan bahwa ada satu anekdot untuk membedakan negara demokratis dan negara otoriter, yakni di dalam teks konstitusi negara demokratis dan otoriter, semua berisi ketentuan mengenai freedom of speech (kebebasan berbicara) dan freedom of expression (kebebasan berekspresi).

“Bedanya, pada negara demokratis, kebebasan berbicara dan berekspresi itu terjamin kapan saja. Pada negara otoriter, kebebasan berbicara dan berekspresi itu dijamin. Yang tidak dijamin adalah kebebasan setelah berbicara dan berekspresi,” tukasnya.

Dia juga menilai fenomena yang terjadi belakangan ini menandakan gejolak-gejolak munculnya gaya orde baru, dimana sering terjadi praktik-praktik intimidasi dan pembatasan kebebasan berekspresi. “Saat ini pendekatan yang sama muncul lagi,” kata Yance.

Sebelumnya, Butet Kartaredjasa dilaporkan Komunitas Advokat Lisan ke Bareskrim Mabes Polri setelah menyampaikan dugaan intimidasi yang dialami saat melakukan pertunjukan seni di Taman Ismail Marzuki. Butet dilaporkan karena diduga melakukan penyebaran berita bohong atau hoaks dalam kasus tersebut.