Bagikan:

JAKARTA – Pemerintah diminta menolak Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) khususnya aturan mengenai penunjukan Gubernur Jakarta mendatang oleh presiden.

Pakar otonomi daerah (otda), Djohermansyah Djohan menilai bahwa aturan penunjukan Gubernur Jakarta oleh presiden akan membuat demokrasi mundur dan memberangus suara sepuluh juta warga Jakarta.

Karena itu, pemerintah diminta menolak RUU DKJ khususnya yang mengatur jabatan gubernur dan wakil gubernur ditunjuk presiden. Karena jabatan tersebut berpotensi hanya untuk mengakomodir kepentingan politik praktis presiden yang sedang berkuasa.

“Tentu ada potensi presiden memberikan jabatan Gubernur Jakarta kepada orang yang tidak kompeten atau kepada karib kerabatnya. Kalau yang diangkat jadi Gubernur Jakarta orang tidak benar, atau karib keluarganya, itu kan mencederai demokrasi,” ujar Djohermansyah, Minggu 10 Desember.

Mantan Dirjen Otda Kemendagri ini menyatakan, sebenarnya langkah DPR yang mengusukan adanya undang-undang khusus untuk Jakarta sudah tepat. Sebab, UU yang mengatur Jakarta sudah berubah, dari semula sebagai ibu kota negara sekarang berubah menjadi daerah otonom.

“Undang-undang yang mengatur daerah khusus Jakarta itu memang suatu kebutuhan karena UU yang mengatur Jakarta itu sudah berubah karena Jakarta yang diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2007 itu Jakarta sebagai ibu kota negara,” jelasnya.

Djohermansyah mengaku setelah mempelajari RUU DKJ, dan menilai naskah undang-undangnya tersebut sudah cukup baik, terutama terkait dengan pemgembangan Jakarta sebagai pusat ekonomi nasional, global city, sehingga harus ada kewenangan-kewenangan di bidang tertentu. Misalnya layanan publik yang lebih baik, kewenangan mengatur investasi, tenaga kerja, industri, dan perdagangan.

“Sayangnya, kenapa harus menyelipkan aturan jika Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta nanti ditunjuk oleh presiden. Saya rasa itu yang harus dikoreksi,” tutup Djohermansyah soal RUU DKJ.