JAKARTA - Kementerian Agama (Kemenag) melaporkan sebanyak 146 madrasah telah ditingkatkan fasilitas dan layanannya agar semakin ramah bagi para penyandang disabilitas.
"Kami telah melakukan penyesuaian regulasi dan aksi nyata agar dapat memberikan layanan terbaik untuk anak berkebutuhan khusus," ujar Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag M Ali Ramdhani pada peringatan Hari Disabilitas Internasional yang digelar di Serpong, Tangerang, Senin.
Dhani mengatakan, Kemenag akan terus menambah daftar madrasah yang ditingkatkan fasilitas dan layanannya agar ramah bagi siswa difabel. Apalagi telah terbentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pendidikan Islam Inklusif yang selalu mengadvokasi isu tersebut.
"Telah pula dibentuk pokja yang kini tersebar di 43 daerah dengan 2.274 anggota, terdiri dari guru, kepala sekolah, pengawas madrasah, akademisi, fasilitator, dan guru pembimbing khusus," kata dia.
Kendati biaya penyesuaian satuan pendidikan ramah disabel tidaklah murah, kata dia, namun hal tersebut harus menjadi prioritas karena pendidikan adalah hak semua warga negara.
Menurutnya, pendidikan inklusif tidak hanya sebatas membuka akses difabel kepada bangku pendidikan saja, tetapi juga bisa menjamin keberlanjutan dalam menjalani proses pendidikan.
"Difabel adalah aktor pembangunan, bukan obyek. Maka mari kita bergerak bersama meski butuh perjuangan keras," katanya.
BACA JUGA:
Saat ini, jumlah siswa difabel di lembaga pendidikan naungan Kemenag mencapai 43.327 siswa, yang tersebar di 4.046 madrasah, meliputi tingkat Madrasah Ibtidaiyah hingga Madrasah Aliyah.
Penasihat Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kemenag Eny Retno Yaqut mengatakan perhatian Kemenag pada penyandang disabilitas bukan hanya jargon.
Ia meminta aparatur Kemenag tidak hanya menunggu laporan, tetapi menjemput bola memastikan para penyandang disabilitas mendapat akses pendidikan.
Menurutnya, pendidikan Islam inklusi juga harus menjadi bagian aktif dari ekosistem pendidikan inklusi yang bersinergi dan berkolaborasi dengan semua pemangku kepentingan, seperti para dokter, psikiater, psikolog, tenaga ahli, dan akademisi perguruan tinggi.
"Dengan menggerakkan pendidikan inklusif, kita buy one get five. Dengan mewujudkan pendidikan inklusi sudah otomatis akan menemukan lembaga yang ramah anak, berperspektif gender, anti kekerasan, dan lingkungan humanis," tandasnya.