Bagikan:

JAKARTA - Warga negara Indonesia dipastikan tak ada yang menggunakan jalur tikus untuk masuk ke wilayah Timor Leste.

"Kalau masyarakat kita sudah sadar semua rata-rata. Mereka lewat perlintasan resmi. Akan tetapi, kalau jalur tikus, tidak pernah," ujar Kepala Administrator Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Wini Don Gaspar saat ditemui di PLBN Wini, Nusa Tenggara Timur, Sabtu pagi.

Don menilai masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di daerah perbatasan Wini dan Timor Leste, sudah mengerti bahwa untuk melakukan perlintasan ke luar negeri harus menggunakan paspor.

Masyarakat di wilayah perbatasan itu adalah masyarakat adat yang disatukan dengan tradisi yang kuat serta mempunyai ikatan emosional yang kuat sebagai satu kesatuan masyarakat adat. Dengan demikian, aktivitas perlintasan masuk keluar PLBN Wini dan Timor Leste sangat tinggi.

Tak hanya itu, imigrasi Indonesia juga masih memberlakukan pas lintas batas (PLB) atau dokumen perjalanan yang berfungsi sebagai paspor (dan sekaligus visa) bagi masyarakat yang tinggal menetap di wilayah perbatasan darat Indonesia dan Timor Leste.

Kendati demikian, PLB tak digunakan lagi oleh masyarakat yang tinggal di Oecusse, sebuah wilayah enclave (daerah kantong) Timor Leste yang terletak di dalam wilayah Indonesia di Timor Barat.

Padahal, masyarakat di Oecusse sangat bergantung pada Indonesia. Namun, mereka tidak memiliki PLB yang mana PLB juga tak berlaku di Timor Leste.

Untuk mengurus paspor dan PLB, kata Don, mereka harus pergi ke Dili. Jarak yang ditempuh pun cukup jauh sekitar 251 kilometer atau memakan waktu hingga lebih dari 6 jam perjalanan darat.

Don menuturkan bahwa pembuatan paspor di Timor Leste memakan waktu yang lama karena pemerintah melakukan pencetakan buku paspor Timor Leste di Finlandia. Paspor Timor Leste pun diperuntukkan bagi pejabat dan urusan mendesak.

Menurut dia, masyarakat biasa tidak bisa lagi membuat paspor. Sementara itu, masyarakat yang mendiami Oecusse harus hidup.

Hal inilah yang mengakibatkan banyak masyarakat Oecusse yang menggunakan jalur tikus untuk bisa memenuhi kehidupannya.

Don menyebutkan jalur tikus bisa terbentuk di mana saja, seperti padang, hutan, hingga pinggir kali.

"Mereka kalau lewat PLB harus ada dokumen resmi. Kalau tidak punya paspor, minimal PLB. Akan tetapi, karena tidak punya PLB, mereka harus melewati jalur tikus. Itu salah satu sebabnya," katanya.

Maraknya penggunaan jalur tikus, menambah tugas bagi pemerintah Indonesia. Ia justru berharap keberadaan PLBN dapat membuat negara tetangga melewati jalur resmi dengan dokumen lengkap.

"Sepertinya pemerintah di sebelah juga tidak memfasilitasi rakyat untuk bisa ke Indonesia karena kebutuhan hidup sehari-hari, makan-minum harus lewat jalur tikus," pungkas Don.