JAKARTA - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin meminta bantuan TNI dan Polri untuk ikut andil membantu pelacakan (tracing) dalam penanganan COVID-19. Tapi, Menkes memberi catatan agar tracing COVID-19 ini tak membuat takut masyarakat
"Ini saya dititipi, jangan dibikin takut orangnya (saat tracing)" ujar Menkes Budi Gunadi di gedung Rupatama, Mabes Polri, Senin, 15 Februari.
Artinya, kata Budi Gunadi, proses tracing dilakukan dengan pendekatan humanis. Dengan begitu, orang yang dilakukan tes COVID-19 bisa menyampaikan semua informasi secara terbuka tanpa tekanan.
Selain itu, merujuk pada aturan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, proses tracing harus dilakukan secara masif. Sebab, untuk satu orang positif harus ditelusuri riwayat kontak selama tiga hari sebelumnya.
"Intinya setiap orang yang kena harus dilacak 30 orangnya dalam tempo 72 jam," kata Budi.
Ketentuan WHO ini menjadi dasar Kemenkes melibatkan TNI-Polri. Alasannya jumlah SDM alias personel TNI/Polri sangat banyak dan dapat mempercepat upaya pelacakan kasus COVID-19.
"Ini sipil tidak mungkin mampu. Ini trainingnya sudah jalan untuk Polda dan Pangdam, tapi kita butuh akses ke Babinsa dan Bhabinkamtibmas," kata Menkes.
BACA JUGA:
"WHO juga bilang untuk setiap 100 ribu populasi dibutuhkan 30 Tracer atau pelacak. Jadi saya hitung dibutuhkan 89 ribu. Saya nggak mungkin punya," sambung Budi.
Menkes Budi Gunadi sebelumnya menyebut setidaknya dibutukan 80 ribu tracer atau orang yang melacak. Sehingga, dengan jumlah itu akan mendapatkan hasil yang maksimal.
"Strategi surveillance atau bahasa militernya intel, gimana kita bisa tahu musuhnya ada di mana dan mereka bergerak di mana saja. Dulu dilacaknya pakai teknik interograsi sekarang pakai teknik testing dan tracing. Kali ini kami di Kementerian Kesehatan menyadari, untuk tracing dibutuhkan 30 tracer untuk per-100 ribu penduduk, dan harus tersebar di seluruh lokasi desa," kata Budi.