Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengklaim ada pihak yang coba mempengaruhi putusan hakim yang menyidangkan praperadilan eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Hal ini disampaikan Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menanggapi ditolaknya praperadilan yang diajukan Syahrul pada Selasa, 14 November kemarin. Gugatan ini teregister dengan nomor perkara: 114/Pid.Pra/2023/PN JKT.SEL.

"Kami mendapat informasi adanya dugaan pihak-pihak tertentu yang bermaksud untuk mempengaruhi putusan hakim," kata Ali dalam keterangan tertulisnya yang dikutip pada Rabu, 15 November.

Tak dirinci Ali siapa pihak yang dimaksud. Namun, ia mengapresiasi langkah hakim yang tetap profesional dan memutus perkara sesuai dengan fakta yang ada.

Apalagi ada 164 bukti yang diajukan KPK di sidang praperadilan tersebut. "Hal ini tentunya menjadi tanda keseriusan kami untuk mengungkap perkara ini sesuai dengan fakta yang betul-betul terjadi," tegasnya.

Syahrul mengajukan praperadilan pada Rabu, 11 Oktober lalu. Ia menggugat penetapan tersangka yang dilakukan KPK.

Hanya saja gugatan itu ditolak oleh Hakim Tunggal PN Jakarta Selatan Alimin Ribut Sujono. Dengan putusan ini penyidikan kasus dugaan korupsi berupa pemerasan, gratifikasi, dan pencucian uang yang dilakukan KPK bisa diteruskan.

"Mengadili dalam eksepsi, menolak praperadilan pemohon, dan membebankan biaya kepada pemohon," demikian kata Alimin saat membacakan amar putusan, kemarin.

Diberitakan sebelumnya, KPK menduga Syahrul memeras pegawainya dengan mewajibkan membayar uang setoran setiap bulan dengan bantuan Sekjen Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat Pertanian Kementan Muhammad Hatta. Nominalnya yang dipatok dan harus disetorkan pegawai eselon I-II berkisar 4.000-10.000 dolar Amerika Serikat.

Uang yang dikumpulkan diyakini bukan hanya berasal realisasi anggaran Kementan digelembungkan atau mark-up melainkan dari vendor yang mengerjakan proyek. Pemberian uang dilakukan secara tunai, transfer maupun barang.

KPK kemudian menduga uang yang diterima Syahrul digunakan untuk berbagai kepentingan pribadinya. Mulai dari umrah bersama pegawai Kementan lainnya, membeli mobil, memperbaiki rumah hingga mengalir ke Partai NasDem dengan nilai hingga miliaran rupiah.