Bagikan:

JAKARTA - Badan Geologi menyatakan kegiatan pengelolaan air tanah dengan membatasi masyarakat mengambil air tanah secara berlebihan berimbas terhadap kenaikan muka air tanah di Jakarta.

Pelaksana Tugas Kepala Badan Geologi Muhammad Wafid  mengatakan, pengendalian penggunaan air tanah disertai dengan peningkatan kapasitas PDAM menunjukkan hasil yang positif dengan mulai proses pemulihan muka air tanah dan melandainya penurunan tanah.

"Itu tahun terakhir sudah mengalami rebound, mengalami kenaikan muka air tanah hingga lima meter," katanya dalam sosialisasi standar penyelenggaraan persetujuan penggunaan air tanah yang dipantau di Jakarta, Antara, Senin, 13 Oktober. 

Sepanjang 2015 sampai 2022, Badan Geologi mencatat lanjut penurunan tanah di Jakarta melandai 0,04 sampai 6,30 sentimeter per tahun.

Kegiatan penambahan penyediaan air permukaan sebagai kompensasi karena tidak boleh mengambil air tanah berlebih telah menyebabkan pemulihan muka air tanah tersebut.

Wafid mengambil referensi pengendalian air tanah di Nagoya dan Tokyo, Jepang. Pemerintah kedua daerah itu melakukan moratorium pengambilan air tanah sebagai upaya menghambat percepatan penurunan muka tanah.

"Aturan - itu mengurangi kecepatan penurunan muka air tanah di Nagoya maupun Tokyo," katanya.

Tahun ini, pemerintah Indonesia menerbitkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 291.K/GL.01/MEM.G/2023 tentang Standar Penyelenggaraan Persetujuan Penggunaan Air Tanah. Aturan itu mewajibkan rumah tangga yang memakai air tanah di atas 100 meter kubik per bulan untuk mengurus izin.

Regulasi itu sebagai upaya pemerintah dalam melalukan konservasi air tanah dan menjamin kebutuhan masa depan agar air tanah tidak habis serta muka tanah tidak mengalami penurunan.

Badan Geologi mengatur tata kelola air tanah karena kondisi cekungan air tanah di Indonesia sudah banyak yang rawan dan mengalami kerusakan.

Tanda kerusakan cekungan air tanah atau CAT menimbulkan berbagai dampak lingkungan, seperti kontaminasi air akuifer di bagian atas dan bawah hingga penurunan permukaan tanah atau landsubsidence.

"Kalau sudah ada tanda-tanda landsubsidence itu harus diawasi penggunaannya karena itu sudah masuk rawan," kata Wafid.

Badan Geologi telah mengidentifikasi beberapa cekungan air tanah yang mengalami kerusakan, yaitu CAT Jakarta, CAT Karawang Bekasi, CAT Semarang, CAT Palangkaraya-Banjarmasin, CAT Bogor, CAT Serang, dan CAT Bandung-Soreang.

Khusus di Pantau Utara Jawa, cekungan air tanah yang rusak telah berdampak terhadap wilayah pesisir. Ketika banjir rob, air laut yang masuk ke daratan tidak langsung kembali ke laut dan menggenangi daratan.

Penurunan permukaan tanah yang signifikan terjadi di Pekalongan, Demak, dan juga Semarang. Di Pekalongan, penurunan permukaan tanah terjadi sebesar 10 sentimeter per tahun.

Lebih lanjut Wafid menyampaikan bahwa pengambilan air tanah bukan satu-satunya penyebab penurunan permukaan tanah. Beberapa faktor penyumbang penurunan permukaan tanah adalah kompaksi alamiah, tektonik, ataupun pembebanan infrastruktur di sekitar lokasi.

"Setidaknya dengan air tanah yang kita kelola, kami mencoba mengurangi percepatan dari landsubsidence yang ada di Pantai Utara Jawa," katanya.