BRIN: Kegiatan Antropogenik Picu Kebakaran Hutan dan Lahan
Petugas manggala agni berupaya memadamkan api yang membakar lahan gambut di Desa Jungkal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. (ANTARA/HO-Kementerian LHK)

Bagikan:

JAKARTA - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan kegiatan antropogenik yang berkaitan dengan aktivitas manusia dalam pembersihan lahan, pengeringan gambut, hingga ekspansi perkebunan skala besar seringkali menyebabkan kebakaran hutan dan lahan.

Peneliti Pusat Riset Hukum BRIN Laely Nurhidayah mengatakan kebakaran besar yang terjadi pada tahun 2015 telah memicu Indonesia membuat program restorasi gambut.

"Masyarakat peduli api (MPA) adalah aktor utama dalam penanganan pencegahan dan pengendalian kebakaran di tingkat tapak," ujarnya dalam diskusi budaya bertajuk pengendalian api berbasis komunitas dan restorasi lahan gambut dilansir ANTARA, Senin, 13 November.

Laely menuturkan masyarakat peduli api memainkan peran penting dalam mencegah dan merestorasi lahan gambut di Indonesia.

Melalui riset yang dilakukan pada 2019, BRIN meneliti masyarakat peduli api yang berada pada enam desa di Riau dan Kalimantan Tengah. 

Pemodelan menggunakan strategi pengendalian api kohesif berfokus pada tiga area, yaitu ekosistem resiliensi, pembangunan adaptasi api oleh masyarakat, dan implementasi strategi pengendalian api.

"Setiap desa yang kami temui sebetulnya ada kesamaan pola bahwa ekosistem gambutnya itu sudah rusak," kata Laely.

Di Desa Lukun dan Temusai, Riau terdapat aktivitas perkebunan skala besar. Pembukaan lahan oleh perusahaan menyebabkan terjadinya perubahan hidrologi air di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG).

Laely mengungkapkan perubahan ekologi gambut akibat pembukaan lahan menimbulkan kekeringan akibat ekosistem gambut yang telah mengalami perubahan.

Pada 1980-an, Desa Temusai mulai mengalami perubahan dengan banyaknya perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh masyarakat setempat.

 

Kegiatan antropogenik itu mempengaruhi hidrologi gambut. Masyarakat setempat mengakui air menjadi agak berkurang sejak pembukaan lahan besar-besaran untuk perkebunan.

"Mereka mengakui ada perubahan setelah adanya (perkebunan). Walaupun mungkin mereka menyebutkan bahwa sawit itu menguntungkan bagi mereka secara ekonomi," kata Laely.

Organisasi non pemerintah Pantau Gambut yang fokus terhadap perlindungan dan keberlanjutan lahan gambut di Indonesia memandang kasus kebakaran gambut yang terjadi berulang pada lokasi yang sama cenderung dilakukan secara sengaja untuk menetralisir kadar keasaman lahan tersebut.

Strategi menurunkan kadar keasaman gambut dapat dilakukan dengan kapur dolomit. Namun, cara itu membutuhkan biaya besar dan tenaga lebih banyak.

Manajer Kampanye dan Advokasi Pantau Gambut Wahyu Perdana mengatakan arang adalah cara paling sederhana untuk menurunkan tingkat keasaman tanah. Jadi, itulah mengapa lahan gambut sering dibakar agar tingkat keasamannya berkurang oleh arang sisa pembakaran.