JAKARTA - Sekretaris Jenderal Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Mahfuz Sidik mengusulkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menginisiasi pembentukan Satuan Gugus Tugas Khusus Keamanan Informasi Pemilu 2024.
"Tampaknya penyelenggara pemilu dalam hal ini, KPU dan Bawaslu perlu menginisiasi terbentuknya satu gugus khusus, yaitu Gugus Tugas Keamanan Informasi Pemilu," kata Mahfuz dalam keterangannya di Jakarta, dilansir dari Antara, Jumat, 3 November.
Gugus tugas ini untuk menjaga keamanan informasi pemilu dari serangan siber terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024.
Menurutnya, gugus tugas ini bisa melibatkan Dewan Pers, KPI, BSSN, Polri, dan pihak terkait lainnya untuk melakukan patroli siber dalam rangka melakukan penegakan hukum terhadap disinformasi Pemilu 2024.
Mahfuz pun khawatir dengan adanya hoaks yang akan menjadi gangguan besar pada Pemilu 2024.
Selain itu, gugus tugas tersebut diperlukan mengingat regulasi Indonesia yang mengatur dunia digital saat ini sudah tertinggal 10 tahun.
"Dunia digital ini sudah berjalan di tengah-tengah kita dan merangsek ke semua aspek kehidupan termasuk dalam kehidupan politik dalam 10 tahun terakhir secara sangat progresif," ujarnya.
Mantan Ketua Komisi I DPR ini menilai bahwa regulasi penyiaran Indonesia tidak mampu menjangkau penyebaran-penyebaran hoaks yang dilakukan oleh televisi berbasis internet.
"Sekarang ini banyak TV yang platformnya internet. Ketika dia menyebarkan hoaks, siapa stakeholder atau pemangku kepentingan yang bisa menegakkan regulasi, apakah Dewan Pers atau KPI, kan nggak ada sekarang," ucap Mahfuz.
Akibat regulasi penyiaran yang tertinggal 10 tahun itu, sambung Mahfuz, membuat banyaknya sampah-sampah digital, yang bisa "digoreng" menjadi isu hoaks dan ujaran kebencian menjelang pelaksanaan Pemilu 2024.
Dengan banyak hoaks dan ujaran kebencian bertebaran di dunia maya, menurut Mahfuz, KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara akan kesulitan untuk melaksanakan pesta demokrasi ini secara riang gembira.
"Apalagi kalau lihat diksi tentang pemilu sekarang yang telah bergeser dari pesta menjadi kompetisi atau kontestasi. Jadi dua kata diksi ini, yang selalu akrab di telinga kita saat ini" jelasnya.
Sehingga ketika kata diksi kompetisi dan kontestasi itu menjadi persepsi besar tentang pemilu maka faktor yang akan menentukan adalah seberapa kuat dan kerasnya kompetisi dan kontestasi itu akan berlangsung di lapangan.
Pertarungan antara Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo merupakan satu kompetisi atau kontestasi power struggle.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila ada peningkatan jumlah hoaks selama periode Januari hingga Oktober 2023, seperti dilaporkan Kementerian Kominfo dan Mabes Polri.
"Saya prediksi pertarungan siber melalui hoaks, ujaran kebencian akan terjadi lompatan yang sangat tajam dalam perang di dunia digital pada bulan November ini. Saya kira di sinilah pentingnya kita memahami, menyadari dan memitigasi, karena apa konsekuensi, risiko atau cost yang harus kita bayar secara secara kolektif bisa seperti Pemilu 2019, yakni pembelahan sosial dan polarisasi," tambah dia.
Jika melihat tren kenaikan hoaks dan ujaran kebencian saat ini, ada beberapa hal yang melatarbelakangi, antara lain adanya pemilih di kalangan generasi Z dan milenial yang mencapai 55 persen lebih, yang sehari-hari tidak bisa lepas media sosial atau gadget.
Sementara mereka menjadi target bidikan suara dari para calon presiden, calon wakil presiden, calon legislatif dan partai politik, serta para tim sukses. Mereka ini akan disuguhi disinformasi melalui media sosial mengenai power struggle, pertarungan yang keras untuk menggaet pemilih yang 50 persen dari generasi Z dan milenial ini.
Ia melihat penyedia jasa hoaks dan ujaran kebencian menjelang Pemilu 2024 ini akan hidup lagi, meskipun mereka telah pecah kongsi.
"Kita perlu hati-hati menyikapi hal ini, karena mulai ada narasi yang dikembangkan mengenai potensi kecurangan, terlepas dari situasi dan kontroversi proses politik sekarang. Ini akan menjadi opini umum, akan menjadi bumbu yang paling sedap untuk proses disinformasi di dunia digital," tuturnya.
Ia mengingatkan disinformasi digital saat ini telah melibatkan kemajuan kecerdasan buatan atau artificial Intelligence (AI) seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, ketika ada informasi tiba-tiba Presiden Jokowi mahir berbahasa Mandarin.
Artinya, penggunaan AI untuk memproduksi hoaks dan ujaran kebencian akan meningkat menjelang Pemilu 2024. Inilah yang membedakan antara Pemilu 2024 dengan Pemilu 2019 lalu.
BACA JUGA:
"Jadi, dari sisi produk yang dihasilkan sudah menggunakan AI. Produknya akan banyak menggunakan produk audio visual atau video yang mulai disebarkan di media sosial untuk merangsang, menstimulasi emosional masyarakat. Kita perlu memitigasi dan mewaspadai bersama, jangan mengambil keuntungan dari situasi ini. Ingat pembelahan politik pasca Pemilu 2019, itu cost yang kita tanggung," pungkas Mahfuz.