KLHK: 90 Persen Pengusaha dalam Kawasan Hutan Sudah Urus Izin
Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono memparkan skema perzinaan berusaha secara digital melalui aplikasi Amdalnet dan Sigap (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan jumlah pengusaha sawit yang terindikasi menjalankan bisnis dalam kawasan hutan saat ini sudah 90 persen mengurus izin yang tertuang dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

"Dalam satu sampai dua hari ini kami yakin semuanya bisa masuk dalam subjek hukum," kata Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono dilansir ANTARA, Senin, 30 Oktober. 

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 atau Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) mengamanatkan batas akhir penyelesaian sawit dalam kawasan hutan pada 2 November 2023. 

Aturan itu terbagi menjadi dua klaster tipologi sesuai dengan pasal 110A dan 110B dalam Undang-Undang Cipta Kerja tersebut.

Pasal 110A adalah perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun, mempunyai izin usaha perkebunan, dan sesuai tata ruang pada saat izin diterbitkan, namun statusnya saat ini berada pada kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi.

Sedangkan, Pasal 110B mengatur mengenai penyelesaian perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi namun tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan.

"Kalimantan Tengah dan Riau mendapat perhatian besar karena memang Pasal 110 A itu kami sebut dispute ruang dan dispute regulasi," kata Bambang.

KLHK mencatat total luas perkebunan sawit dalam kawasan hutan di Indonesia mencapai 3,37 juta hektare dengan rincian sawit dalam kawasan hutan konservasi seluas 91.074 hektare, sawit dalam hutan lindung seluas 156.119 hektare, sawit dalam hutan produksi tetap mencapai 501.572 hektare, sawit dalam hutan produksi terbatas seluas 1,49 juta hektare, dan sawit dalam hutan produksi konversi seluas 1,13 juta hektare.

 

Satuan Tugas Tata Kelola Sawit mewajibkan pelaku usaha korporasi perkebunan sawit dalam kawasan hutan untuk melakukan pendaftaran secara mandiri melalui Sistem Informasi Perizinan Perkebunan atau disingkat Siperibun milik Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. 

Bila pelaku usaha dalam kawasan hutan telat mengurusi izin, maka pemerintah tak segan untuk memberikan sanksi mulai dari denda administratif hingga sanksi pidana kehutanan.

"Prosedur yang harus diikuti dalam Undang-Undang Kehutanan memberikan legalitas nanti (perkebunan sawit) tidak lagi di kawasan hutan," pungkas Bambang.

Terkait