JAKARTA - Pengusaha senior Prajogo Pangestu sempat merasakan getir kehidupan kala membangun bisnisnya dari bawah. Terlahir dengan nama Phang Djoem Phen, Prajogo kecil menghabiskan masa mudanya di Sambas, Kalimantan Barat.
Dia berasal dari keluarga miskin dan tidak berpunya. Atas alasan ini pula dia harus rela meninggalkan bangku sekolah saat menapaki tingkat pertama. Bertekad untuk sukses, Prajogo lantas merantau ke Jakarta. Di sana, harapan besar dia tanamkan untuk bisa berhasil secara ekonomi. Namun, upaya tersebut kandas. Dia memutuskan untuk pulang kampung.
Siapa menyangka, dari keputusan inilah nasibnya berubah. Setelah sampai di Kalimantan, dia melakoni profesi sebagai sopir angkutan kota (angkot). Berkat pergaulan yang luas, dia berkenalan dengan cukong kayu bernama Burhan Uray.
Pengusaha asal Malaysia itu terpikat atas keuletan Prajogo. Setelah tujuh tahun diberi kesempatan bergabung, Burhan lantas memberikan kepercayaan Prajogo menduduki salah satu posisi strategis di Pabrik Plywood Nusantara di Gresik, Jawa Timur.
Di sini, insting bisnis Prajogo semakin terasah. Setahun berselang dia memutuskan untuk hengkang dan memulai usaha sendiri. Langkah strategis lanjutan adalah mengakuisisi CV Pacific Lumber Coy yang tengah dirundung masalah keuangan.
Di bawah kepemimpinannya, perusahaan tersebut berhasil keluar dari persoalan finansial. Sebagai momentum, Prajogo mengubah nama Pacific Lumber menjadi PT Barito Pacific.
Bak gayung bersambut, pengusaha yang lahir pada 1944 itu memperoleh kesempatan bekerjasama dengan klan Soeharto, Presiden RI paling lama yang berkuasa di negari ini. Dari situ, usahanya melesat hingga saat ini. Prajogo kemudian dikenal luas sebagai taipan dengan fokus usaha di bidang petrokimia. Tidak hanya itu, dia juga melebarkan gurita bisnisnya ke sektor minyak sawit mentah, hasil hutan, hingga properti.
Memasuki usia senja, Prajogo yang merupakan orang terkaya nomor tiga di Indonesia dengan kekayaan 7,6 miliar dolar AS (Rp106,4 triliun) lalu memercayakan kepemimpinan usaha kepada Agus Salim Pangestu, yang merupakan anak laki-laki hasil pernikahan dengan Herlina Tjandinegara.
Kendaraan listrik
Pemerintah Indonesia saat ini tengah menanti ‘durian runtuh’ atas euforia kendaraan listrik yang tengah melanda dunia. Pasalnya, RI akan menjadi rantai pasok penting dalam ekosistem kendaraan ramah lingkungan tersebut.
BACA JUGA:
Peluang ini ditangkap pula oleh Barito Grup. Berdasarkan informasi yang dihimpun VOI, entitas usaha yang didirikan Prajogo Pangestu ini menyatakan kesiapan diri untuk mendukung pemerintah dalam mengembangkan kendaraan listrik lewat sokongan bahan baku plastik melalui PT Barito Pacific Tbk.
Untuk diketahui, plastik merupakan produk substitusi yang banyak digunakan dalam kendaraan listrik pengganti besi. Tidak hanya Barito Pacific, sang anak usaha yakni PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) juga disodorkan kepada untuk turut menyukseskan siasat bisnis itu.
Sebagai dua entitas kakap sektor industri petrokimia, Barito Grup dianggap calon kuat pemasok plastik pemerintah dalam program kendaraan listrik.
Dari sisi kinerja, PT Barito Pacific Tbk (BRPT) diketahui mencetak total penjualan sebesar 1,25 miliar dolar AS atau setara Rp16 triliun. Secara terperinci, penjualan di dalam negeri sebesar 900 juta dolar AS atau Rp12 triliun. Sementara sisanya ditujukan ke pasar mancanegara dengan nilai penjualan 350 dolar AS atau sekitar Rp4 triliun.
Besarnya volume bisnis petrokimia milik Barito Grup diproyeksi bakal semakin jumbo apabila perseroan berhasil mendapatkan kepercayaan pemerintah untuk memasok plastik bagi kebutuhan kendaraan listrik.