Bagikan:

JAKARTA - Rancangan kebijakan umum anggaran-plafon prioritas anggaran sementara (KUA-PPAS) DKI tahun 2020 telah selesai dibahas pada tiap Komisi di DPRD bersama Pemprov DKI. 

Setelah dibahas, ternyata penganggaran DKI yang diusulkan melonjak jadi Rp97 triliun. Padahal, sebelumnya Pemprov DKI mengajukan pagu anggaran dalam KUA-PPAS sebesar Rp89,44 triliun per tanggal 23 Oktober. Nominal itu merupakan pengefisiensi dari pengajuan anggaran paling awal sebesar Rp95 triliun. 

Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah menganggap pertambahan anggaran ini adalah hal yang wajar. Dia tak mau menganggap bahwa pencermatan anggaran bersama kelima Komisi di DPRD tak berjalan efektif. 

"Saya rasa itu dinamika pembahasan, itu biasa. Naik turun, prioritas tidak prioritas, itu hal biasa," kata Saefullah di Gedung DPRD, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis, 21 November. 

Yang jadi masalah, berdasarkan hitungan rencana penerimaan keuangan di tahun 2020, Pemprov DKI hanya akan menerima pendapatan sebesar Rp87 triliun. Itu artinya, ada defisit pengajuan anggaran sebesar Rp10 triliun. 

Berdasarkan data yang diterima dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI, ada sejumlah mata anggaran belanja yang membengkak. 

Pembengkakan itu berada pada anggaran untuk menyubsidi premi 5,1 juta warga penerima bantuan iuran (PBI) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Balai Kota DKI Jakarta (Diah Ayu Wardhany/VOI)

Anggaran awal yang diusulkan sebesar Rp1,4 triliun untuk subsidi tersebut. Namun, Pemprov DKI kemudian mengusulkan tambahan anggaran Rp1,16 triliun dan totalnya menjadi Rp2,5 triliun karena naiknya iuran BPJS Kesehatan secara nasional mulai 2020.

Kemudian, pembengkakan anggaran lain adalah gaji untuk tenaga penyedia jasa lain perorangan (PJLP) di lingkungan Pemprov DKI mengikuti kenaikan upah minumum provinsi (UMP). Totalnya, ada kenaikan gaji PJLP sebesar Rp451 miliar. 

Tak hanya itu, ada juga kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk pegawai negeri sipil (PNS) yang ditanggung Pemprov DKI sebesar Rp 275,99 miliar.

Untuk penyesuaian anggaran yang defisit ini, Saefullah bilang Pemprov DKI dan DPRD harus mengurangi sejumlah mata anggaran yang bakal dibahas dalam rapat Badan Anggaran (Banggar) sebelum mengesahkan rancangan APBD. 

"Cara menguranginya adalah dibahas di Badan Anggaran. Bagaimana cara mengurangi Rp10 triliun itu, mana yang harus dihapus, mana yang dikurangi, mana yang merupakan prioritas nasional, mana yg merupakan prioritas daerah, dan mana yang merupakan program wajib," jelas Saefullah. 

Masalah defisit ini baru ketahuan jelang batas waktu pengesahan APBD pada 30 November. Batas waktu ini ditentukan oleh aturan Kementerian Dalam Negeri. Itu artinya, DKI hanya punya 9 hari untuk mengejar penyisiran anggaran di Banggar, pengesahan rancangan APBD (RAPBD), penyisiran ulang RAPBD hingga penetapan APBD DKI 2020.

Rapat pembahasan anggaran di salah satu Komisi DPRD (Diah Wardani Ayu/VOI)

Terpisah, Wakil Ketua DPRD DKI Muhammad Taufik merasa tak yakin pihaknya bisa mengejar pembahasan anggaran hingga final dalam waktu setipis ini. Kata dia, DPRD perlu waktu untuk melakukan pengurangan pada program dirasa bukan prioritas. 

Oleh karenanya, DPRD menyurati Kemendagri untuk meminta perpanjangan waktu sekitar setengah bulan. Karena, menurutnya Kemendagri baru mengevaluasi pada 15 Desember. 

"Kita sudah minta waktu, Depdagri punya waktu minimal 15 Desember melakukan evaluasi seluruh Indonesia. jadi perlu ada waktu. Tahun lalu kita (membahas anggaran)juga sampai Desember," ungkap Taufik.