Korban Tewas Tembus 2.445 Jiwa, Gempa Afghanistan Tercatat Sebagai Salah Satu yang Mematikan Tahun Ini
Gempa di Afghanistan. (Twitter/@AmuTelevision)

Bagikan:

JAKARTA - Jumlah korban tewas gempa bumi yang melanda Afghanistan tembus 2.400 jiwa, kata pemerintahan Taliban pada Hari Minggu, menjadi gempa paling mematikan di negara itu selama bertahun-tahun.

Gempa yang mengguncang Afghanistan pada Hari Sabtu tersebut berkekuatan 6,3 skala Richter, terjadi 35 km (20 mil) barat laut kota Herat, menurut Survei Geologi Amerika Serikat (USGS).

Gempa tersebut merupakan salah satu gempa paling mematikan di dunia tahun ini, setelah gempa di Turki dan Suriah yang menewaskan sekitar 50.000 orang pada Bulan Februari.

Janan Sayeeq, juru bicara Kementerian Bencana mengatakan dalam pesannya kepada Reuters, seperti dikutip 9 Oktober, jumlah korban tewas meningkat menjadi 2.445 orang, namun ia merevisi jumlah korban luka menjadi "lebih dari 2.000". Sebelumnya, dia menyebutkan 9.240 orang terluka.

Sayeeq juga mengatakan 1.320 rumah rusak atau hancur. Sementara, jumlah korban tewas melonjak dari 500 yang dilaporkan sebelumnya pada Hari Minggu oleh Bulan Sabit Merah.

Sepuluh tim penyelamat berada di daerah yang berbatasan dengan Iran, kata Sayeeq pada konferensi pers.

Terpisah, pejabat Departemen Kesehatan Herat yang mengidentifikasi dirinya sebagai Dr. Danish mengatakan, lebih dari 200 orang tewas telah dibawa ke berbagai rumah sakit, menambahkan sebagian besar dari mereka adalah wanita dan anak-anak.

"Jenazah telah dibawa ke beberapa tempat – pangkalan militer, rumah sakit," kata Danish.

Di Qatar, kepala kantor politik Taliban Suhail Shaheen mengatakan dalam pesannya ke media, makanan, air minum, obat-obatan, pakaian dan tenda sangat dibutuhkan untuk penyelamatan dan bantuan.

Sedangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laporan Hari Minggu menyebutkan, terdapat total 202 fasilitas kesehatan umum di Provinsi Herat, salah satunya adalah rumah sakit regional besar yang menampung 500 korban jiwa.

Sebagian besar fasilitas tersebut merupakan pusat kesehatan dasar yang lebih kecil dan tantangan logistik menghambat operasi, khususnya di daerah terpencil, kata WHO.

"Sementara operasi pencarian dan penyelamatan masih berlangsung, korban di daerah tersebut belum sepenuhnya teridentifikasi," jelas WHO.