Bagikan:

JAKARTA - Pengesahkan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dianggap menjadi dukungan DPR RI untuk menyelamatkan tenaga honorer di tengah rencana penghapusan tenaga non-ASN itu. Langkah DPR pun mendapat apresiasi.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Pakar Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah. Menurutnya, pengesahan UU ASN yang dilakukan oleh DPR merupakan bukti dewan legislatif tersebut menyerap aspirasi masyarakat, khususnya para tenaga honorer.

“Saya rasa DPR saat ini sudah paham urgensi RUU ini karena kan pembahasan juga sudah sering dilakukan, jadi tidak ada kata lagi untuk menunda-nunda. Dan DPR tahu itu, terus Presiden juga meminta tidak ada PHK. Jadi kemarin disahkan itu sudah tepat menurut saya,” kata Trubus, Kamis 5 Oktober.

Trubus menilai, salah satu fokus utama UU ASN terkait isu non-ASN akan menjadi payung hukum untuk penataan tenaga honorer yang jumlahnya mencapai lebih dari 2,3 juta orang.

“DPR saya rasa sudah tepat, saat persoalan tenaga honorer ini sudah mepet waktunya dan menyita perhatian masyarakat juga bagaimana nasib tenaga honorer. Jadi saya rasa tidak ada keterburu-buruan tapi DPR melalui fungsinya sudah menjawab kegelisahan di masyarakat, khususnya pada isu tenaga honorer,” jelasnya.

Pria yang menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia ini memaparkan, UU ASN pun memberikan kesempatan kesetaraan antara ASN dan non-ASN. Trubus meyakini, UU ASN akan semakin meningkatkan kinerja para abdi negara.

“UU ini memberi ruang kepada ASN baik PNS maupun PPPK mempunyai kedudukan yang setara, tupoksinya sama, kewenangannya sama. Jadi tidak ada istilah PNS kelas 1 yang PPPK kelas 2. Seperti pihak yang dianak-tirikan, jadi UU ini sudah bagus karena menyetarakan menempatkan proporsi yang sama,” papar Dosen Universitas Trisakti ini.

Trubus juga menilai dengan mengutamakan tenaga honorer dalam formasi PPPK, hal tersebut akan menambah transformasi pelayanan publik di Indonesia. Ia menyebut, tenaga honorer memiliki pengalaman lebih banyak karena telah mengabdi kepada negara cukup lama.

“Yang penting juga menurut saya, bagaimana UU ini menjadi jembatan para honorer untuk didahulukan menjadi PPPK karena mereka sudah beradaptasi dan menyesuaikan,” ungkapnya.

“Karena mereka sudah paham tuntutannya, seperi kemampuan dan kompetensi teknis, kemampuan manajerial dan kemampuan sosial budaya,” tambah Trubus.

UU ASN pun dinilai dapat sekaligus memperbaiki kapastias tenaga honorer itu sendiri. Sebab, kata Trubus, tidak sedikit pekerjaan tenaga honorer yang tidak sejalan dengan latar belakang pendidikannya.

“Jadi dengan adanya UU ini juga akan bisa memberikan pelatihan bagi tenaga honorer untuk bisa menyerap formasi PPPK yang sesuai dengan bidangnya,” sebut dia.

Lebih lanjut, Trubus juga menanggapi perihal insentif bagi ASN yang ditempatkan di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar) sesuai amanat UU ASN yang baru. Menurutnya, hal itu patut diapresiasi karena memberikan dorongan bagi ASN yang menolak untuk bekerja jauh dari kota-kota besar.

“Untuk insentif ASN di 3T itu sudah cukup bagus, artinya kayak mereka yang bekerja di pulau terluar. Jangan hanya insentif kalau bisa, saya dulu sarankan agar gajinya 2 kali lipat. Karena kita lihat bagaimana mereka bekerja di sana, jarang bertemu keluarga, jarang pulang,” urai Trubus.

Dengan kenaikan gaji 2 kali lipat disbanding ASDN lain, Trubus berharap hal itu akan memberikan pemacu semangat bagi ASN untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat di daerah 3T.

“Dengan adanya gaji 2 kali lipat itu juga, maka keinginan untuk para ASN mengabdi di wilayah 3T semakin banyak. Jadi jangan hanya insentif saja, masukan saya kalau bisa gajinya juga berbeda dengan ASN yang di kota-kota besar,” ujarnya.

Trubus pun menyoroti soal jenjang karir yang lebih cepat bagi ASN yang bersedia ditempatkan di daerah 3T. Meski aturan tersebut nantinya akan menjadi perdebatan antar-sesama ASN, namun kebijakan tersebut dinilai akan memungkinkan Pemerintah menyerap formasi ASN di wilayah 3T.

“Bukan itu saja, bagi ASN yang di wilayah terluar itu, kalau bisa kewenangannya di pemerintah pusat saja, jangan di daerah. Daerah sifatnya hanya koordinasi dan pengawasan saja. Karena kalau tidak ada pengawasan itu tidak baik juga,” imbuh Trubus.

Bukan hanya itu, untuk menarik formasi ASN di daerah 3T, Pemerintah diingatkan harus dapat memenuhi sarana dan pra sarana penunjang. Dengan ketersediaan infrastrukur yang baik, Trubus menilai akan ada pemerataan pembangunan dan sumber daya manusia yang merata.

“Apalagi soal keluhan ASN itu sendiri, yang misalnya seorang guru untuk akses ke tempat belajarnya susah untuk pakai motor itu kan harus difasilitasi oleh pemda,” terangnya.

Trubus berharap, DPR dapat terus menjalankan fungsi pengawasannya terhadap implementasi UU ASN. Dengan pengawasan yang baik, ruang baru terjadinya jual beli penyerapan formasi PPPK pun dapat dihindari.

“DPR harus perlu mengawasi UU ini diterapkan, jangan sampai ada keluhan lagi dari aturan turunannya,” ucap Trubus.

“ASN yang di 3T itu harus menjadi prioritas pengawasan bagaimana keluhan mereka ditanggapi oleh DPR dengan memberi masukan ke pemerintah. Misalnya terkait insfrastruktur, atau sarananya. Kan mereka yang tahu,” tambahnya.

Sebelumnya Ketua DPR Puan Maharani mengatakan pengesahan UU ASN merupakan dukungan DPR bagi transformasi pelayanan pegawai negara. Selain itu, UU ASN juga merupakan dukungan bagi tenaga honorer yang sedianya akan dihapuskan.

Puan menyebut UU ASN memastikan adanya perlindungan bagi tenaga honorer dari bentuk PHK massal.

“Bagi tenaga honorer, saya berharap UU ini menjadi angin segar dari kegelisahan mereka karena sempat ada wacana pemberhentian pada November ini. UU ASN akan menjamin seluruh tenaga honorer untuk tidak di-PHK,” tutur Puan.

“Ada jutaan tenaga non-ASN yang selama ini telah bekerja sungguh-sungguh mengabdi untuk rakyat. UU ASN ini menjadi awal komitmen kami di DPR untuk terus mendukung tenaga honorer sehingga bisa terus bekerja bagi negara,” sambung perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.

Dalam pembahasan bersama Pemerintah, DPR disebut selalu mendorong agar tidak ada PHK massal yang dapat merugikan bagi para tenaga honorer. DPR pun selalu menegaskan agar Pemerintah mengubah status tenaga honorer menjadi ASN atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

“DPR dan Pemerintah sepakat, dalam UU ASN ini jangan sampai ada penelantaran bagi tenaga honorer. Apalagi yang telah bertahun-tahun mengabdi, justru mereka ini yang diprioritaskan,” tegas Puan.

Oleh karena itu, Puan berharap hadirnya UU ASN akan membawa perubahan yang positif dalam meningkatkan kesejahteraan tenaga ASN dan mendukung tenaga non-ASN yang berperan besar dalam menjalankan roda pemerintahan.

“Dengan komitmen dan kerja sama semua pihak, Indonesia dapat mencapai pemerintahan yang lebih efisien, efektif, dan berpihak pada rakyat. Langkah bersejarah ini membawa harapan besar bagi tenaga non-PNS di Indonesia,” tutupnya.