JAKARTA – Marak kasus perundungan (Bully) yang belakangan terjadi di sejumlah wilayah. Korbannya banyak dari kalangan pelajar, yang masih di bawah umur baik tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Umum (SMU). Tragisnya, kasus perundungan yang terjadi bukan secara verbal, melainkan kekerasan fisik.
Sepert diketahui, aksi perundungan disertai kekerasan fisik dialami oleh siswi SMP di Jakarta Utara, belum lama ini. Akibat dari kekerasan itu, korban enggan datang ke sekolah.
Meski pihak guru sudah melakukan mediasi dan sepakat kasusnya tidak dibawa ke ranah hukum. Kendati demikian, korban mengalami trauma mendalam yang berdampak pada psikis.
Perundungan disertai kekerasan juga terjadi di Cilacap, Jawa Tengah. Seorang pelajar SMP dianiaya oleh teman sekolahnya hingga mengalami patah tulang di tubuhnya. Aksi penganiayaan itu viral di media sosial, hingga mendapat kecaman dari berbagai pihak.
Kepolisian pun mengambil tindakan dengan mengamankan pelaku di rumahnya. Meski masih di bawah umur, namun kepolisian tetap memproses kasus tersebut dengan memperhatikan peraturan terkait anak berhadapan dengan hukum.
Kasus perundungan terhadap anak, atau pelajar mendapat perhatian khusus dari pemerhati anak. Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi atau yang akrab disapa Kak Seto meminta kepada Dinas Pendidikan (Disdik) untuk segera membentuk Satuan Tugas (Satgas) Anti Bully. Dengan tujuan agar tidak ada lagi kasus serupa di lingkungan sekolah.
Kak Seto menilai, anak-anak di Indonesia memiliki sifat peniru yang luar biasa. Sebab, dengan melihat atau mengetahui saja, mereka akan mengikutinya. Maka, jika anak kerap ditampilkan adegan kekerasan baik fisik maupun verbal, maka tidak menutup kemungkinan akan ditiru.
BACA JUGA:
“Diibentuk Satgas Anti Bully di sekolah-sekolah. Karena anak itu adalah peniru terbaik, karena anak itu meniru, mencontoh bisa saja melihat atau jadi korban kekerasan. Atau melihat kekerasan orang dewasa,” ucap Kak Sato kepada VOI, Rabu, 4 Oktober.
Menurut Kak Seto, Satgas Anti Bully bisa diisi oleh para guru, komite sekolah hingga para orang tua murid. Hal ini sebagai bentuk pengawasan terhadap anak-anak agar tidak terlibat kekerasan, apalagi pidana.
“Dengan harapan itu (pembentukan Satgas Anti Bully). Terdiri dari para guru, komite sekolah, dan orang tua sekolah, OSIS dan dinas pendidikan setempat,” ucapnya.
Ia berharap Disdik setempat aktif dalam menggencarkan Satgas Anti Bully ini. Sehingga anak-anak Indonesia terbebas dari kekerasan di lingkungan maupun luar sekolah.
“Jadi dinas pendidikan harus aktif ke sekolah-sekolah mengkampenyekan sekolah ini terbebas dari kekerasan,” tutupnya.