JAKARTA - Obat antivirus yang dirancang untuk mengobati COVID-19 dapat menyebabkan mutasi pada virus yang menyebar di masyarakat, menurut sebuah studi baru.
Molnupiravir, salah satu obat antivirus corona pertama yang tersedia selama pandemi, diadopsi secara luas di banyak negara, termasuk Inggris, yang merupakan negara pertama yang menyetujuinya.
Obat ini termasuk dalam kelas obat yang dirancang untuk membuat virus bermutasi sedemikian rupa, sehingga menjadi lemah dan tidak mampu bereplikasi.
Namun, para ilmuwan yang terus memantau COVID baru-baru ini menemukan perubahan pada virus yang terlihat sangat berbeda dari pola mutasi pada umumnya. Mereka menemukan bahwa perubahan tersebut, yang meningkat pada tahun 2022 ketika obat tersebut pertama kali diperkenalkan, "sangat terkait" dengan orang yang memakai molnupiravir.
Theo Sanderson, penulis utama dan peneliti pascadoktoral di Francis Crick Institute, mengatakan kepada The National, penemuan ini akan berguna dalam menilai "risiko dan manfaat" obat tersebut.
"Data kami tidak mengukur apa artinya risiko," katanya, melansir The National News 25 September.
"Hal ini cukup sulit untuk diprediksi. Namun data kami menunjukkan, pengobatan ini dapat menghasilkan virus yang bermutasi secara signifikan dan masih dapat bertahan hidup. Ini adalah penemuan yang berguna," urainya.
"Ada beberapa virus yang bertahan dalam pengobatan dengan sejumlah mutasi yang signifikan," tandas Sanderson.
Lebih jauh dikatakannya, prosesnya berbeda dengan apa yang terjadi ketika bakteri mengembangkan resistensi terhadap antibiotik.
"(Dalam hal ini, molnupiravir) secara spesifik bertindak untuk menciptakan mutasi, sedangkan pada antibiotik ada mutasi yang terjadi secara spontan yang memberikan resistensi terhadap antibiotik tersebut," jelasnya.
Kendati demikian, ia mengatakan obat antivirus masih diperlukan, karena beberapa orang berjuang untuk memberantas virus dan menjadi sangat sakit karenanya.
"Kemungkinan mutasi yang disebabkan oleh antivirus perlu diperhitungkan dalam pengembangan obat baru yang bekerja dengan cara serupa," sebutnya.
"Pekerjaan kami menunjukkan, rangkaian data pasca-pandemi dengan ukuran yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang dibangun secara kolaboratif oleh ribuan peneliti dan petugas kesehatan di seluruh dunia, menciptakan kekuatan besar untuk mengungkap wawasan tentang evolusi virus yang tidak mungkin dilakukan melalui analisis data dari negara mana pun," paparnya.
Studi yang dilakukan oleh para peneliti di Francis Crick Institute, Universitas Cambridge, Imperial College London, Universitas Liverpool, Universitas Cape Town dan Badan Keamanan Kesehatan Inggris (UKHSA), juga menemukan mutasi lebih mungkin terjadi pada usia yang lebih tua.
"Molnupiravir adalah salah satu dari sejumlah obat yang digunakan untuk melawan COVID-19," sebut Christopher Ruis dari departemen kedokteran Universitas Cambridge, yang terlibat dalam penelitian.
"Tetapi yang kami temukan adalah pada beberapa pasien, proses ini tidak membunuh semua virus dan beberapa virus yang bermutasi dapat menyebar," tandasnya.
Di Inggris, para peneliti menganalisis data pengobatan dan menemukan, setidaknya 30 persen kejadian melibatkan penggunaan molnupiravir.
Para peneliti mengatakan meskipun obat tersebut tidak langsung berbahaya bagi orang yang memakainya, penelitian ini mungkin mempunyai implikasi penting terhadap arah pandemi di masa depan.
BACA JUGA:
Untuk mempelajari bagaimana mutasi terjadi, para ilmuwan melihat tanda mutasi mereka, yakni preferensi agar mutasi terjadi pada titik-titik tertentu dalam virus. Para peneliti yang terlibat dalam penelitian ini mengatakan, ada kecocokan yang erat antara tanda yang terlihat pada peristiwa mutasi dan tanda dalam uji klinis molnupiravir.
Mereka juga melihat tanda-tanda penularan lanjutan dari satu orang ke orang lain, meskipun saat ini tidak ada varian kekhawatiran yang terkait dengan hal ini.
Menurut para ahli, penting juga untuk mempertimbangkan infeksi COVID kronis, yang disebabkan oleh penggunaan molnupiravir, dapat menyebabkan mutasi baru.