Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengirim tim ke Amerika Serikat. Mereka mencari bukti dugaan korupsi pengadaan liquified natural gas (LNG) yang dilakukan PT Pertamina (Persero).

"Ya, benar bahwa tim penyidik beserta dengan tim BPK berangkat ke Amerika Serikat," kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat malam, 22 September.

Keberangkatan ini, sambung Asep, ditujukan untuk mencari bukti korupsi yang menjerat eks Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan. Salah satu yang dicari adalah mengenai transaksi keuangan hingga nilai besarannya.

"Kenapa dengan BPK, dengan BPK karena terkait pasal yang disangkakan yaitu Pasal 2, Pasal 3 di mana salah satu unsur pasalnya adalah kerugian keuangan negara," tegasnya.

"Jadi BPK adalah pihak yang melakukan penghitungan terhadap kerugian keuangan negaranya," sambung Asep.

Selain itu, komisi antirasuah ingin mengetahui detail proses kerja sama antara PT Pertamina dengan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC. "Kita ingin melihat seperti apakah dokumen-dokumen trading tersebut," ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, KPK menyebut pengadaan LNG oleh PT Pertamina (Persero) sebagai alternatif mengatasi kekurangan gas di Tanah Air tak dikaji. Karen Agustiawan yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Pertamina juga tak melaporkan keputusannya ke dewan komisaris.

“GKK alias KA secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian dengan perusahaan CCL (Corpus Christi Liquefaction) LLC Amerika Serikat tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan pada Dewan Komisaris PT Pertamina Persero,” kata Firli.

Firli mengungkap pelaporan harusnya dilakukan karena akan dibawa dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). “Sehingga tindakan GKK alias KA tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu,” tegasnya.

Karena perbuatannya, Karen membuat negara merugi hingga sekitar 140 juta dolar Amerika Serikat atau Rp2,1 triliun. Penyebabnya, kargo LNG yang dibeli dari perusahaan CCL LLC Amerika Serikat menjadi tidak terserap di pasar domestik.

Akibatnya kargo over supply, PT Pertamina membuat penjualan di pasar internasional dengan kondisi rugi. Padahal, komoditas ini juga tak pernah masuk ke Indonesia dan dipergunakan seperti tujuan awalnya.