Bagikan:

JAKARTA - Pakar HAM Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Myanmar meminta Amerika Serikat untuk memperketat sanksi terhadap penguasa militer di negara tersebut, dengan menargetkan sumber pendapatan utama, perusahaan minyak dan gas negara.

Pelapor Khusus PBB Tom Andrews yang juga mantan anggota Kongres AS mengatakan, penting bagi Washington untuk setidaknya mempertahankan tingkat dukungan kemanusiaan bagi para korban junta di dalam dan di luar Myanmar.

Dalam sidang Komisi HAM Kongres AS Andrews mengatakan, ia terkejut dengan laporan beberapa donor, termasuk AS, mungkin mengurangi dukungan bagi pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar, mengatakan Rencana Respons Bersama yang mencakup jatah makanan untuk anak-anak Rohingya di Bangladesh hanya didanai 32 persen pada tahun ini.

Andrews memuji Washington karena menjatuhkan sanksi terhadap Bank Perdagangan Luar Negeri Myanmar dan Bank Investasi dan Komersial Myanmar pada Bulan Juni, namun mengatakan masih banyak yang perlu dilakukan.

"Kita perlu menerapkan lebih banyak sanksi. Saya mendesak AS untuk bergabung dengan Uni Eropa dan segera menjatuhkan sanksi terhadap satu-satunya sumber pendapatan terbesar junta, Perusahaan Minyak dan Gas Myanmar," kata Andrews, melansir Reuters 14 September.

"Jika Anda dapat menghentikan pendanaan, Anda dapat mengurangi kemampuan mereka untuk melanjutkan kekejaman ini," ujarnya mengacu pada kematian warga sipil di tangan militer.

Lebih jauh, Andrews juga mendesak Washington untuk bekerja sama dengan negara lain untuk memblokir akses junta terhadap senjata.

Andrews mengatakan dalam laporannya pada Bulan Mei, militer Myanmar telah mengimpor senjata dan bahan lainnya senilai setidaknya 1 miliar dolar AS sejak kudeta

Bulan lalu, Washington memperluas sanksinya terhadap Myanmar dengan memasukkan perusahaan atau individu asing yang membantu junta mendapatkan bahan bakar jet yang digunakan untuk melancarkan serangan udara, sambil memperkirakan militer telah membunuh lebih dari 3.900 warga sipil sejak mengambil alih kekuasaan melalui kudeta tahun 2021.

Pada Bulan Januari, Amerika Serikat menargetkan direktur pelaksana dan wakil direktur pelaksana Perusahaan Minyak dan Gas Myanmar dengan sanksi, namun belum mengambil tindakan lebih jauh terhadap perusahaan tersebut, meskipun ada desakan dari kelompok hak asasi manusia dan para pembangkang.

Sementara itu, para pejabat militer Myanmar meremehkan dampak sanksi, mengatakan serangan udara mereka menargetkan pemberontak.