JAKARTA - Indonesia berhasil mengendalikan inflasi di tengah tingginya inflasi dunia. Di antara negara-negara G20, tingkat inflasi Indonesia pada Agustus 2023 sebesar 3,27 persen merupakan terendah keempat setelah Cina (-0,30 persen), Saudi Arabia (2,31 persen), dan Amerika Serikat (3,18 persen). Inflasi Indonesia juga lebih rendah dibandingkan Eropa, yakni sebesar 5,3 persen.
“Ini patut disyukuri, mengingat beberapa negara sedang mengalami hiperinflasi. Seperti Argentina, 113,4 persen, dan Turki, 47,8 persen,” terang Deputi III Kepala Staf Kepresidenan, Edy Priyono, di gedung Bina Graha Jakarta, Kamis 7 September.
Edy mengatakan terkendalinya inflasi Indonesia didorong oleh seluruh komponen. Yakni, Komponen inflasi inti atau core inflation, administered price, dan komponen pangan atau volatile food.
Pada komponen inflasi inti atau core inflation, terang Edy, cenderung stabil di level yang rendah, yakni 2,18 persen (yoy). Sementara komponen inflasi administered price menurun hingga menjadi 8,05 persen, setelah sebelumnya mencapai puncaknya pada Desember 2022 sebesar 13,34, dampak penyesuaian harga energi yang dilakukan pemerintah.
Terkendalinya inflasi Indonesia, tambah Edy, juga tidak terlepas dari dorongan komponen pangan atau volatile food. Pada Agustus 2023, komponen inflasi pangan di level 2,42 persen atau lebih rendah dibandingkan 2022, yakni 5,61 persen.
“Artinya di tengah gejolak harga pangan global, Indonesia relatif mampu mengendalikan harga pangan yang merupakan kebutuhan strategis,” tuturnya.
Edy menyampaikan keberhasilan kebijakan pengendalian inflasi di Indonesia hasil dari kombinasi menyeluruh antara kebijakan moneter, fiskal, dan koordinasi yang erat melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Strategi kebijakan ini tidak banyak dilakukan di negara-negara lain.
“Sebab di hampir seluruh negara, pengendalian inflasi dilakukan hanya melalui instrumen kebijakan moneter,” jelasnya.
Dari sisi kebijakan fiskal, papar Edy, pengendalian inflasi dilakukan dengan terus memperkuat sisi supply melalui berbagai program ketahanan pangan.
Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp104,2 untuk mengembangkan budi daya pertanian, penguatan infrastruktur, sarana dan prasarana pertanian, subsidi bunga kredit dan subsidi pupuk, serta mendukung sarana prasarana lain, seperti jalan.
Sementara pada kebijakan moneter, lebih lanjut Edy menjelaskan, pada 2023 normalisasi kebijakan moneter diarahkan agar konsisten dan sejalan dengan stance kebijakan moneter.
Hal ini untuk memastikan inflasi inti terkendali dalam kisaran 3,0 plus 1 persen. Caranya melalui penetapan suku bunga BI7DRR yang secara bertahap dinaikkan dan dipertahankan pada level 5,75 persen sejak Januari hingga Agustus 2023.
“Selain itu juga dilakukan penguatan stabilitas nilai tukar rupiah sebagai bagian dari upaya pengendalian inflasi, terutama imported inflation,” ungkap Edy.
Adapun terkait dengan koordinasi dan sinergi antara pemerintah dan Bank Indonesia melalui TPIP dan TPID, kata Edy, salah satunya dengan penguatan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah.
Di mana TPIP-TPID terus mendorong optimalisasi Strategi 4K : Keterjangkauan Harga, Ketersediaan Pasokan, Kelancaran Distribusi, dan Komunikasi Efektif.
BACA JUGA:
Deputi Bidang Perekonomian Kepala Staf Kepresidenan ini juga menegaskan, meski inflasi relatif terkendali, pemerintah terus melakukan upaya-upaya preventif dan antisipatif.
Diantaranya dengan terus memantau perkembangan harga, khususnya harga pangan strategis, dan memperkuat koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta pemerintah dengan para pelaku usaha.