JAKARTA - Menteri Keuangan periode 2013-2014 Chatib Basri mengatakan bahwa Indonesia harus menyelesaikan pemulihan ekonomi lebih cepat dari Amerika Serikat (AS) jika tidak ingin tekanan bertambah besar
Pasalnya, pemulihan ekonomi di AS akan semakin membuka ruang negara itu melakukan normalisasi kebijakan.
“Saat mereka pulih, normalisasi dari mandatory policy akan berdampak pada kita,” ujarnya dalam webinar Mandiri Investment Forum 2021 pada Rabu, 3 Januari.
Chatib menambahkan, jika skenario pemulihan AS lebih cepat maka skenario taper tantrum bukannya tidak mungkin akan terulang.
“Ini mengingatkan saya tentang apa yang terjadi pada 2013 dengan kondisi taper tantrum,” tuturnya.
Untuk itu, Chatib meminta kepada pemerintah agar terus mengupayakan penyelesaian pokok masalah saat ini, yaitu pandemi. Dia juga menyebut bahwa cara paling rasional untuk membereskan dampak pandemi adalah dengan kesuksesan program vaksinasi.
Meskipun demikian, dirinya pesimistis bahwa penyelesaian vaksinasi secara dominan akan terjadi pada tahun ini. Narasi itu dia sampaikan berdasarkan laporan salah satu media terkemuka dunia.
“Jika berbicara tentang vaksin, ini sangat menarik untuk mengutip The Economist. Di sana mereka menyebut bahwa ada kemungkinan Indonesia untuk mendapat 60 persen populasi tervaksin pada kuartal III 2023,” imbuhnya.
Untuk diketahui, taper tantrum merupakan kondisi yang disebabkan oleh kebijakan bank sentral AS The Federal Reserve (Fed) yang mengurangi pembelian obligasi treasury pada 2013. Langkah pengurangan pembelian surat utang itu sendiri sering disebut sebagai quantitative easing (QE).
Adapun, maksud The Fed untuk memborong obligasi treasury sebelum 2013 adalah memberikan stimulus kepada pasar lewat guyuran likuiditas. Harapannya, ekonomi AS dapat bergeliat karena jumlah uang yang beredar di masyarakat menjadi lebih banyak. Sehingga, aktivitas produktif bisa berjalan dengan indikasi terbentuknya angka inflasi.
BACA JUGA:
Namun, dampak kebijakan ini membuat nilai dolar AS melemah dibandingkan dengan mata uang asing. Salah satu yang ketiban untung adalah rupiah yang pada periode tersebut sempat menyentuh level psikologis Rp9.000-an.
Namun, langkah The Fed melalui pendekatan quantitative easing pada 2015 membuat dolar AS perkasa. Akibatnya bisa ditebak, rupiah lunglai ke level Rp14.000-an.
Terbaru, pada pertengahan Januari lalu The Fed menyebut bahwa dukungan fiskal pemerintah AS dan program vaksinasi di negara itu membuat prospek pemulihan ekonomi semakin cepat. Atas dasar itu, bank sentral melihat ada ruang bagi pengurangan pembelian obligasi di akhir tahun.
Artinya, siap-siap dolar AS akan kembali menguat dan rupiah bakal berada dalam situasi tekanan. Hal ini diyakini oleh Chatib Basri.
“Jadi itulah mengapa kita harus lebih cepat untuk memulihkan ekonomi dari negara lain,” tutupnya.