Bagikan:

JAKARTA - Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) Ben Brahim-Ujang Iskandar meminta Mahkamah Konstitusi (MK) mengesampingkan penerapan ambang batas sesuai Peraturan MK Nomor 6 tahun 2020 terkait gugatan sengketa hasil pilkada. Alasannya, Ben-Ujang menemukan kecurangan bersifat fundamental di Pilgub Kalteng.

 Hal ini disampaikan kuasa hukum calon gubernur nomor urut 01 Ben Brahim-Ujang Iskandar Ramdansyah. Pernyataan ini menanggapi jawaban KPU Provinsi Kalteng dan pihak terkait pada sidang di MK.

“Kami meminta MK mengesampingkan penerapan ambang batas karena ada kecurangan yang terjadi dan sifatnya fundamental,” kata Ramdansyah dikutip Antara, Rabu, 3 Februari.

Sebelumnya, KPU Kalteng mengatakan Ben Brahim-Ujang Iskandar tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan gugatan sengketa pilkada.

Hal itu, kata kuasa hukum KPU Kalteng, karena selisih perolehan suara pemohon dan pihak terkait tidak memenuhi syarat ambang batas 1, 5 persen sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 158 ayat 1 UU Pilkada.

Menanggapi itu, Ramdansyah menyebutkan tiga contoh putusan MK yang mengabaikan selisih ambang batas. Pertama, Putusan MK Nomor 42/PHP.BUP-XV/2017 mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Puncak Jaya 2017.

MK tidak menggunakan penerapan ambang batas dan memerintahkan dilakukannya pemungutan suara ulang dalam Pilkada Kabupaten Puncak Jaya ketika itu.

Kedua, Putusan MK Nomor 52/PHP.BUP-XV/2017 mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Yapen 2017. MK menilai belum terdapat rekapitulasi perolehan suara dari masing-masing pasangan calon, sehingga tidak dapat digunakan ketentuan ambang batas dalam perkara ini.

Ketiga, Putusan MK Nomor 51/PHP.BUP-XV/2018 mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Mimika 2018.

Pada kasus tersebut, MK menunda keberlakuan ambang batas untuk memeriksa terlebih dahulu permasalahan krusial yang didalilkan oleh para pemohon terkait ketiadaan dan keabsahan surat keputusan mengenai pengangkatan kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) di 8 (delapan) distrik.

“Dalam gugatan Ben- Ujang, KPU dan Bawaslu diduga tidak netral dalam penyelenggaraan Pilkada Kalimantan Tengah 2020. Kami meyakini MK akan meneruskan sidang gugatan kami,” katanya.

 Ramdansyah menyebutkan beberapa indikasi ketidaknetralan termohon seperti penggunaan Slogan “Kalteng Batuah” yang sengaja dan sadar digunakan oleh KPU Provinsi Kalimantan Tengah.

Slogan dimaksud ternyata sangat mirip dengan slogan Paslon nomor urut 02. Hal ini tampak di salah satu alat peraga (masker) yang digunakan KPU. Citra diri antara KPU Provinsi Kalimantan Tengah dan paslon Sugianto Sabran-Edi Pratowo menunjukkan ketidaknetralannya.

 

Kecurangan yang bersifat fundamental lainnya yakni adanya pembiaran oleh KPU dan Bawaslu Kalteng atas penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan.

“Ada fakta tidak terbantahkan bahwa penetapan nomor urut pasangan calon peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Tengah 24 September. Artinya beberapa mutasi yang dilakukan petahana di atas diduga melanggar aturan Pemilu, dan Bawaslu membiarkannya,” ucapnya. 

Dugaan ketidaknetralan Bawaslu Provinsi Kalimantan Tengah terlihat saat hanya sepihak mengambil keterangan saksi, tanpa mempertimbangkan fakta hukum dari pelapor.

akta ini menunjukkan Bawaslu dalam mengambil keputusan bertentangan dengan asas universal Audi et Alteram Partem. Dengan demikian putusan Bawaslu hanya didasarkan pada keterangan sepihak dan tentu tidak utuh berdasarkan fakta sesungguhnya.

 Hal ini menunjukkan Bawaslu telah melanggar prinsip imparsialitas. Bawaslu tidak profesional atau melakukan dan melanggar asas bagi penyelenggara Pemilu yang profesional.

“Kami sudah menyampaikan bukti tambahan ke majelis laporan terkait ketidaknetralan dan tidak profesionalnya termohon dan terkait di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)," ujar Ramdansyah.