Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo menyerukan penghormatan atas hukum internasional dan hak asasi manusia saat menghadiri Forum Konferensi Tingkat Tinggi BRICS (Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) di Afrika Selatan.

"Sebelum kita membahas berbagai kerja sama, ada satu hal yang mendasar yang harus kita sepakati. Semua dari kita harus konsisten menghormati hukum internasional dan hak asasi manusia," kata Presiden Joko Widodo saat berbicara dalam Forum KTT BRICS sebagaimana dikutip ANTARA lewat tayangan langsung Youtube The Presidency of the Republic of South Africa, Kamis, 24 Agustus.

Presiden Jokowi menyampaikan tatanan ekonomi dunia saat ini sangat tidak adil, gap atau jarak pembangunan semakin lebar, serta rakyat miskin dan kelaparan semakin bertambah. Menurutnya, situasi tersebut tidak boleh dibiarkan.

Jokowi menegaskan negara berkembang harus bersatu untuk memperjuangkan hak-haknya. Selain itu, diskriminasi perdagangan harus ditolak dan hilirisasi industri tidak boleh dihalangi.

"Kita semuanya harus terus menyuarakan kerja sama yang setara dan inklusif. BRICS dapat menjadi bagian terdepan untuk memperjuangkan keadilan pembangunan dan mereformasi tata kelola dunia yang lebih adil," kata Presiden.

Presiden Jokowi juga menyampaikan pandangannya dunia saat ini seakan bergerak tanpa nakhoda dan tanpa kompas yang jelas.

Presiden mencermati perang dan konflik telah mengakibatkan tragedi kemanusiaan dan krisis pangan telah membuat puluhan juta orang jatuh miskin.

"Belum lagi ancaman perubahan iklim yang mengintai umat manusia. Dari pandemi kita telah diajarkan bahwa krisis global tidak akan bisa selesai kalau kita bekerja sendiri-sendiri atau oleh sekelompok negara saja. Dibutuhkan kolaborasi dan solidaritas bersama untuk mengatasinya," jelasnya.

Jokowi menekankan kehadirannya di Forum KTT BRICS bukan hanya sebagai pemimpin Indonesia, tetapi sebagai sesama pemimpin The Global South yang mewakili 85 persen populasi dunia yang menginginkan win-win formula.

Kehadirannya di Forum KTT BRICS juga didasari keinginan untuk terus menghidupkan "Spirit Bandung" (Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955) yang menurutnya masih sangat relevan sampai saat ini karena solidaritas, soliditas dan kerja sama antarnegara berkembang perlu terus diperkuat.