BANDUNG - Satresnarkoba Polresta Bandung mengamankan 53.500 butir obat keras dalam operasi selama sepekan, yakni sejak 14 hingga 20 Agustus 2023.
Kapolresta Bandung Kombes Kusworo Wibowo mengatakan, puluhan ribu butir obat keras itu diamankan dari tujuh tersangka pengedar dari beberapa wilayah Kabupaten Bandung.
"Selama satu pekan terakhir, kami melaksanakan kegiatan penindakan terhadap obat-obat keras terlarang karena ini dijual bebas," kata Kusworo di Soreang, Kabupaten Bandung, Antara, Selasa, 22 Agustus.
Tujuh tersangka pengedar yang ditangkap itu, yakni AA, KW, EP, RG, JA, AT dan MA, yang diamankan dengan puluhan ribu obat keras berbagai merk.
Obat-obatan itu, terdiri dari Trihexyphenidyl sebanyak 15.500 butir, Hexymer sebanyak 12 ribu butir, tramadol sebanyak 21 ribu butir, dan dextrometorphane sebanyak lima ribu butir.
"Ketujuh tersangka itu memiliki variasi pekerjaan, di antaranya adalah buruh harian lepas, buruh di kebun, buruh di perusahaan dan buruh catering," ucapnya.
Untuk modus penjualan yang dilakukan para tersangka ini, dilakukan bermacam-macam, seperti menggunakan warung tisu.
"Ada yang pakai tas pinggang, kemudian di balik tasnya ada yang langsung bertransaksi uang masuk, obat keluar. Kami akan ungkap dari pengedar sampai dengan bandar pemasok barang-barang tersebut," tuturnya.
Dia menegaskan bahwa Polresta Bandung tidak akan tinggal diam atas penjualan obat keras, dan akan terus melakukan penindakan.
"Sehingga masyarakat seandainya mengetahui informasi berkaitan adanya penjualan obat-obat keras, mohon untuk tidak ragu menginformasikan kepada kepolisian melalui 110 atau sosial media Polresta Bandung," ucapnya.
Kusworo juga menghimbau kepada masyarakat yang telah terlanjur mengkonsumsi, untuk membulatkan tekad untuk berhenti.
"Bila perlu minta rehabilitasi untuk bisa berhenti. Karena seandainya terus-terusan menggunakan, bisa overdosis, yang bisa mengakibatkan kematian, bisa juga keburu tertangkap oleh kepolisian menjadi tahanan Polresta Bandung," katanya.
BACA JUGA:
Atas perbuatannya para tersangka Pelaku di jerat Pasal 196 dan 197 Undang-Undang Kesehatan 36 tahun 2009, sesuai dengan perannya masing-masing. Dengan ancaman hukuman pidana penjara 10 sampai 15 tahun penjara, dan denda paling banyak Rp1 miliar hingga Rp1,5 miliar.