JAKARTA - Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) mempertanyakan mengapa kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) tetap diberlakukan. Padahal, kebijakan ini tak efektif dalam menekan penyebaran pandemi COVID-19 di dalam negeri, bahkan menyebabkan ekonomi turun dan babak belur.
Ketua Umum DPP Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengaku pada dasarnya setuju dengan keputusan pemerintah terkait kebijakan PPKM untuk dapat menekan penyebaran pandemi COVID-19 di dalam negeri. Namun, nyatanya kasus positif tetap tinggi.
"Buat apa diberlakukan PPKM kalau ujungnya kasus COVID-19 tetap naik dan ekonomi justru babak belur. Kan harusnya kalau ditarik rem darurat penyakitnya turun, ini malah enggak. Lalu, bagaimana ini?," tuturnya, saat dihubungi VOI, Senin malam, 1 Februari.
Sebelumnya, kebijakan PPKM diakui Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak efektif. Bahkan, implementasinya dianggap tidak tegas dan cenderung tak konsisten setelah dilakukan evaluasi.
Meksi dianggap tidak efektif, pemerintah sudah memutuskan menerapkan kebijakan PPKM untuk menahan penyebaran virus COVID-19 selama dua kali. PPKM tahap pertama berlaku pada 11 hingga 25 Januari 2021. Adapun tahap kedua, dilaksanakan mulai 26 Januari hingga 8 Februari.
PPKM, menurut Budi, bukan kebijakan yang pas untuk penanganan pandemi COVID-19 di Tanah Air. Ia menilai, seharusnya yang perlu dilakukan pemerintah dalam hal pencegahan penyebaran virus adalah memastikan protokol kesehatan di setiap lapisan masyarakat dan dunia usaha berjalan dengan baik.
"Kami melihat salah obat. Sebenarnya obatnya bukan itu (PPKM). Kami melihat kurangnya dari pemerintah untuk memastikan protokol kesehatan tidak hanya di kami. Tetapi semua standarnya harus sama," jelasnya.
Menurut Budi, pemerintah harus memeriksa penerapan protokol kesehatan COVID-19 di masyarakat dan jenis-jenis usaha. Ia mengatakan, protokol kesehatan mungkin saja mulai kendur dijalankan sehingga membuat kasus aktif COVID-19 di Tanah Air meningkat.
"Kalau toko harus melengkapi protokol kesehatan, yang masuk harus tes suhu. Tidak boleh tidak pakai masker dan harus cuci tangan. Itu yang sudah mulai kendur kami lihat. Tetapi kalau tenant di pusat-pusat perbelanjaan tetap konsisten menjalankannya," tuturnya.
Pengusaha minta okupansi dikembalikan ke 50 persen
Budi berharap PPKM tak lagi dilanjutkan. Sebab, kasus COVID-19 kenyataannya tetap naik. Di tengah ketidakpastian kapan pandemi berakhir, pengusaha meminta pemerintah memperhatikan dunia usaha dalam hal ini sektor pusat perbelanjaan yang merana karena kebijakan tersebut.
BACA JUGA:
Lebih lanjut, Budi juga berharap okupansi atau tingkat keterisian pusat perbelanjaan dapat dikembalikan di angka 50 persen. Seperti diketahui, selama pemberlakukan PPKM okupansi dikurangi menjadi 25 persen.
"Kami berharap okupansi dikembalikan 50 persen dan jam operasionalnya paling malam 21.00 WIB. Sehingga kami yang sebagai penyewa pusat perbelanjaan masih bisa berjualan sambil protokol kesehatan kami jalankan," ucapnya.
Menurut Budi, dengan mengembalikan okupansi menjadi 50 persen ini akan sangat membantu penyewa pusat perbelanjaan. Sebab, peluang mendapatkan income lebih terbuka. Apalagi, jika jam operasional ditingkatkan dari 20.00 WIB menjadi 21.00 WIB.
"Kemarin weekend okupansi mulai meningkat. Kami lihat ramai. Traffic-nya pasti langsung naik kalau jam operasionalnya ditingkatkan," ucapnya.