Bagikan:

JAKARTA - Kekerasan seksual yang dilakukan di tengah-tengah konflik Sudan berada dalam skala yang memuakkan, kata seorang pejabat PBB kepada Dewan Keamanan.

"Kisah mengkhawatirkan tentang kekerasan seksual yang terdengar dari orang-orang yang melarikan diri ke Port Sudan hanyalah sebagian kecil dari yang berulang pada skala yang memuakkan dari titik konflik di seluruh negeri," kata pejabat senior bantuan PBB Edem Wosornu, melansir The National News 10 Agustus.

Lebih lanjut Wosornu yang merupakan direktur operasi dan advokasi di Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan, menceritakan kunjungannya ke Sudan dua minggu lalu.

"Perempuan dan anak perempuan yang saya ajak bicara berbagi cerita tentang dipaksa melarikan diri jauh dari rumah mereka... Mereka bercerita tentang kekerasan seksual, pelecehan, dan serangan fisik. Tentang suami yang menghilang dan tidak pernah terlihat lagi. Tentang pendidikan terputus, karier hancur , dan mata pencaharian hilang. Guru dan perawat yang meninggalkan rumah mereka dengan gaji tidak dibayar," tuturnya.

Diketahui, perang brutal pecah di Sudan pada 15 April antara militer negara itu dengan paramiliter Rapid Support Forces (RSF).

Terpisah, Amerika Serikat sebelumnya menuduh "aktor bersenjata" melakukan kejahatan kekerasan seksual.

Sedangkan Duta Besar Inggris untuk PBB Barbara Woodward menyalahkan kedua belah pihak atas pelanggaran hukum humaniter internasional, dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB.

Saat ini, 3,2 juta orang mengungsi di dalam negeri dan 900.000 orang telah melarikan diri ke negara tetangga, termasuk Chad, Mesir dan Sudan Selatan.

"Situasi mengerikan hari ini. Perkelahian terjadi di pusat Omdurman dan ada peluru dan pecahan peluru di sekitar rumah kami. Terlalu banyak warga sipil yang terluka. Kebanyakan dari mereka bahkan tidak bisa pergi ke rumah sakit untuk dirawat. Jenazah berada di jalan-jalan dan tidak ada yang bisa bergerak untuk menyelamatkan yang terluka," kata Dokter Rashid Mukhtar, sukarelawan dari organisasi kesehatan dan kemanusiaan internasional Project Hope.

"Masyarakat semakin sulit mengakses bantuan medis mendesak, dengan 80 persen rumah sakit di seluruh negeri tidak berfungsi," tambah Wosornu.