Bagikan:

JAKARTA - Kejaksaan Agung telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka kasus dugaan korupsi PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri). Dua di antaranya merupakan mantan Direktur Utama (Dirut) PT Asabri. 

Dua mantan Dirut PT Asabri yang ditetapkan tersangka yakni, Mayjen (Purn) Adam Rachmat Damiri alias ARD dan Sonny Widjaja alias SW. Sedangkan 6 tersangka lainnya yakni, BE selaku mantan direktur keuangan PT Asabri, HS selaku Direktur PT Asabri, WS selaku Kadiv Investasi PT Asabri, LP Dirut PT Prima Jaringan serta BT dan HH (Swasta). 

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, tersangka ARD menjabat sebagai Dirut periode 2011-2016. 

Dalam kurun waktu 2012-2016 yang bersangkutan membuat kesepakatan dengan BT untuk mengatur dan mengendalikan transaksi dan investasi saham Asabri. 

"Serta reksandana Asabri. Ini melalui BT," jelas Leonard kepada wartawan, Senin, 1 Februari. 

Selanjutnya SW selaku Dirut Asabri pada Maret 2016 sampai Juli 2020. Menurut Leonard, pada 2016 sampai 2019, SW membuat kesepakatan dengan HH untuk mengatur dan mengendalikan transaksi, investasi saham serta reksadana PT Asabri. 

"Jadi LP, BT dan HH selaku pihak swasta yang mengatur transaksi saham dan reksadana dalam portofolio milik PT Asabri dengan cara memasukan saham-saham milik mereka dengan harga yang telah dimanipulasi menjadi portofolio milik PT Asabri," terang Leonard. 

Nah, sejak 2012-2019, Direktur Investasi dan Keuangan serta Kadiv Investasi PT Asabri berkolaborasi melakukan kesepakatan dengan pihak luar yang bukan konsultan investasi atau manajemen investasi Asabri (HH, BTS dan LP). 

Kesepakatan itu, sambung Leonard adalah membeli atau menukar saham dalam portofolio PT Asabri dengan saham milik HS BTS dan LP. "Tentunya dengan harga yang telah dimanipulasi menjadi tinggi. Dengan tujuan agar kinerja portofolio Asabri terlihat seolah-olah baik," jelas dia. 

Setelah saham tersebut menjadi milik PT Asabri, saham kembali ditransaksikan atau dikendalikan oleh HH, BTS dan LP berdasarkan kesepakatan bersama dengan Direksi Asabri. 

"Seolah-olah saha tersebut bernilai tinggi dan liquid. Padahal, transaksi yang dilakukan hanya semu dan menguntungkan pihak HH, BTS dan LP, serta merugikan investasi atau keuangan PT Asabri. Saham tersebut juga dijual dalam portofolio dengan harga di bawah," tegas Leonard. 

"Jadi seluruh kegiatab investasi Asabri pada  2012-2019  tidak dikendalikan oleh Asabri namun sepenuhnya dikendalikan oleh HH, BTS dan LP," jelas Leonard. 

Kasus dugaan korupsi ini terjadi selama tahun 2012 hingga 2019, PT. Asabri telah bekerja sama dengan beberapa pihak untuk mengatur dan mengendalikan dana investasi Asabri dalam investasi pembelian saham sebesar Rp10 triliun melalui pihak-pihak yang terafiliasi dan investasi penyertaan dana pada produk reksadana sebesar Rp. 13 triliun. 

Ini dilakukan melalui beberapa perusahaan manajemen investasi (MI) dengan cara menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perbuatan tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.