Berkaca Skandal Suap MA, Kondisi Lembaga Kekuasaan Kehakiman Dinilai Masih Mengkhawatirkan
Diskusi hukum bertajuk 'Menggugat Konsistensi Penegakkan Hukum di Indonesia' yang dihelat Forum Wartawan Hukum Semarang. (Ist)

Bagikan:

JATENG - Pengajar Hukum Administrasi Negara Universitas Islam Sultan Agung, Rahmat Bowo Suharto menilai kondisi penegakkan hukum di Tanah Air masih memprihatinkan. Menurutnya, jika benteng keadilan ingin berdiri kokoh maka aparat harus konsisten menegakkan hukum.

Hal itu disampaikan Rahmat saat acara diskusi hukum bertajuk "Menggugat Konsistensi Penegakkan Hukum di Indonesia yang dihelat Forum Wartawan Hukum Semarang di Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Senin 7 Agustus.

"Inkonsistensi penegakkan hukum akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Akibatnya akses keadilan bagi rakyat pencari keadilan semakin tidak terjangkau. Konsep penegakan hukum adalah penegakan hukum yang dilakukan dengan tegas, lugas, profesional, dan tidak diskriminatif dengan tetap berdasarkan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia, keadilan,dan kebenaran,” ujar Rahmat.

Menurutnya, penegakan hukum di lembaga peradilan harus dengan persidangan yang transparan dan terbuka dalam rangka mewujudkan tertib dan disiplin sosial sehingga dapat mendukung pembangunan serta memantapkan stabilitas nasional.

Dalam kesempatan sama, pengamat politik Ari Junaedi menyoroti kinerja Mahkamah Agung (MA) sebagai benteng terakhir keadilan yang sudah sewajarnya steril dan imun dari pihak-pihak yang berperkara.

Dia mencontohkan skandal suap yang diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum lama ini melibatkan staf, panitera, hakim agung bahkan sekretaris MA. Hal itu, kata dia, menunjukkan kondisi lembaga kekuasaan kehakiman benar-benar mengkhawatirkan.

"Seharusnya MA menjaga marwahnya sebagai benteng terakhir keadilan dengan menjaga jarak dengan semua pihak yang berperkara sekalipun dengan Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI). Mengingat Satgas BLBI adalah juga pihak yang berperkara, tidak seharusnya MA menghadiri pertemuan sekalipun dikemas dengan nama focus group discussion (FGD) yang diadakan beberapa waktu lalu di Bandung, Jawa Barat," ungkap Ari.

Senada dengan Ari, pengajar hukum pidana Universitas Diponegero Umi Rozah berharap pola rekrutmen hakim harus dibenahi mengingat hakim tidak saja harus menggunakan logikanya tetapi juga nuraninya.

"Hakim tidak boleh terpaku pada legalistik formal, padahal subtansi keadilan bisa didapat dengan menggunakan akal dan nurani. Banyak kasus-kasus hukum diselesaikan hakim dengan pola seperti robot mekanis akibatnya produk hukum yang dihasilkan menjadi abal-abal," tandasnya.