Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta William Aditya Sarana meminta Inspektorat DKI Jakarta untuk memeriksa kasus pembelian lahan yang diduga milik Pemprov DKI oleh Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut) DKI Jakarta.

Pembelian tanah milik sendiri oleh Pemprov DKI pada tahun 2018 ini, menurut William, melibatkan aparatur sipil negara dilingkungan Pemprov DKI, baik tingkat provinsi, kota administrasi hingga kelurahan.

"Inspektorat harus turun tangan biar bisa dibersihkan semua yang terlibat," kata William kepada wartawan, Senin, 7 Agustus.

Melanjutkan, Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta August Hamonangan menyebut pihaknya akan mengusulkan pemanggilan kepada Distanhut DKI untuk meminta klarifikasi dari kasus tersebut.

"Akan saya tanyakan dudukan permasalahannya, dan saya akan usulkan untuk dibahas dengan seluruh anggota dewan," ujarnya.

Bahkan, August melanjutkan, tidak menutup kemungkinan kasus ini akan diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab, ia mencurigai adanya kongkalingkong yang bermuara pada tindak pidana penggelapan dan korupsi.

"Ada yang melaporkan atau tidak, KPK harus menyelidiki ini. Kerugian yang dialami negara tidak sedikit loh," ucap August.

Sebagai informasi, Pemprov DKI Jakarta diduga membeli lahan milik sendiri di kawasan Pegadungan, Kalideres, Jakarta Barat. Lahan ini dibeli oleh Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI (Distanhut) Jakarta dengan nilai Rp54,57 miliar.

Lahan seluas 6.312 ini dibeli dari alokasi APBD tahun anggaran 2018. Tanah yang dijadikan ruang terbuka hijau (RTH) tersebut dibeli Pemprov DKI dari pengembang perumahan Puri Gardenia II, yakni PT Tamara Green Garden.

Selain itu, kondisi lahan yang dibeli ini masih berstatus sengketa antara pihak pengembang perumahan Puri Gardenia II dengan beberapa ahli waris yang salah satunya bernama Achmad Benny Mutiara.

Hal ini diungkapkan oleh kuasa hukum Achmad Benny, Madsanih. Kata dia, pembelian lahan di Pegadungan ini cacat administrasi. Distanhut disebut memaksakan pembelian lahan yang seharusnya merupakan aset Pemprov DKI yang diserahkan tanpa biaya dari pengembang tersebut.

"Diketahui bahwa sebagian dari lahan tersebut merupakan bagian dari SIPPT 1910-1.711.5 tanggal 1992 atas nama PT Tamara Green Garden, yang Mana pihak pengembang dalam hal ini PT Tamara Green Garden harus menyerahkan lahan fasos fasumnya kepada Pemprov DKI," kata Madsanih kepada wartawan, Jumat, 4 Agustus.

Kejanggalan lainnya, lanjut Madsanih, yaitu dalam proses pembelian lahan tersebut tidak adanya proses apresial yang dilakukan pihak KJPP sebagai salah satu syarat pengadaan lahan oleh Pemprov DKI.

Selain itu, Madsanih memandang Pemprov DKI tak bisa memproses pengadaan lahan yang kini masih berstatus sengketa antara PT Taman Green Garden dengan beberapa ahli waris tersebut.

"Ini sangat aneh dan terlalu dipaksakan. Seharusnya Pemprov DKI dalam hal ini Dinas Pertanaman dan Kehutanan DKI dalam membeli lahan warga harus berstatus clean and clear, baru bisa dijadikan aset," tuturnya.