Polri Pecat Bripda IMS Tersangka Kasus Polisi Tembak Polisi
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan/DOK FOTO: Rizky Adytia-VOI

Bagikan:

JAKARTA - Polri menjatuhkan sanski pemecatan atau pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadap Bripda IMS, salah satu tersangka kasus polisi tembak polisi. Sanksi itu berdasarkan hasil sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang digelar 3 Agustus.

Dalam kasus polisi tembak polisi, Bripda Bripda Igantius Dwi Frisco Sirage (IDF) menjadi korban. Ia tewas dengan luka tembak di bagian leher atas dekat telinga.

"Sanski administrarif berupa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai anggota Polri," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan dalam keterangannya, Jumat, 4 Agustus.

Selain itu, pada putusan sidang KKEP, Bripda IMS juga disanksi penepatan khusus (patsus) selama tujuh hari yang dimulai sejak 28 Juli hingga 4 Agustus.

Sanski yang dijatuhkan itu karena Bripda IMS diyakini telah lalai dalam penggunaan senjata api. Bahkan, hingga menyebabkan tewasnya Bripda Igantius Dwi Frisco Sirage (IDF).

Tindakannya itu dianggap melanggar Pasal 13 ayat (1) PP Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri juncto Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 8 huruf c angka 1, Pasal 10 ayat (1) huruf a angka 5, Pasal 10 ayat (1) huruf f, Pasal 10 ayat (1) huruf a angka 5 juncto Pasal 10 ayat (6) huruf a dan huruf b Perpol Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.

Hanya saja, Bripda IMS tak langsung menerima putusan sidang KKEP tersebut. Ia memutuskan mengajukan banding.

"Pelanggar menyatakan banding," kata Ramadhan.

Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage tewas diduga tertembak oleh rekannya. Insiden itu terjadi di Rusun Polri, Bogor, pada Minggu, 23 Juli

Dari hasil penyidikan, Bripda IMS dan Bripka IG dianggap bersalah dan ditetapkan sebagai tersangka.

Pada proses pidana, Bripda IMS dipersangkakan dengan Pasal 338 dan atau 359 KUHP dan atau UU Darurat Nomor 12 tahun 1951.

Sedangkan, untuk Bripka IG dikenakan Pasal 338 juncto 56 dan atau 359 KUHP juncto 56 KUHP ddan atau UU Darurat Nomor 12 tahun 1951.

Selain itu, mereka dinilai melakukan pelanggaran kode etik berat. Keduanya disanksi penempatan khusus (patsus) di Divisi Propam.