Bagikan:

NTB - Berkas perkara milik dua tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat bantu belajar mengajar (ABBM) pada Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Mataram segera P21 atau lengkap.

Kepala Bidang Humas Polda NTB Kombes Pol. Arman Asmara Syarifuddin mengatakan dalam waktu dekat pihaknya bakal melimpahkan tersangka dan barang bukti ke penuntut umum.

"Semoga dalam waktu dekat bisa segera dilimpahkan (tahap dua)," ucapnya di Mataram, NTB, Jumat 4 Agustus, disitat Antara.

Dalam kasus ini, nilai kerugian negara ditaksir mencapai Rp3,2 miliar. Angka tersebut berdasarkan hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara (PKKN) dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB.

Dengan adanya kerugian negara, penyidik Polda NTB menetapkan dua tersangka dalam kasus ini berinisial AD dan ZF. Tersangka AD berperan sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) dan ZF sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK).

Saat proyek tersebut bergulir pada tahun anggaran 2017, terungkap dalam struktur kepengurusan Poltekkes Mataram, AD menduduki jabatan Direktur Poltekkes Mataram dan ZF sebagai Ketua Jurusan (Kajur) Keperawatan pada Poltekkes Mataram.

Pengadaan ABBM ini bersumber dari APBN tahun 2017. Proyek disalurkan melalui Kementerian Kesehatan dengan anggaran Rp19 miliar.

Pembelian barang ABBM dilakukan melalui e-katalog. Namun, ada yang secara langsung melalui sistem tender yang dimenangi tujuh perusahaan penyedia dengan melibatkan 11 distributor.

Salah satu item yang dibeli adalah boneka manekin. Alat tersebut untuk menunjang praktik di jurusan perawat, bidan, gizi, dan analis kesehatan.

Namun, barang yang bersumber dari pengadaan tersebut diduga sebagian tidak bisa dimanfaatkan sehingga berstatus mangkrak. Alasan pihak kampus tidak bisa menggunakan karena tidak sesuai dengan kebutuhan kurikulum belajar.

Dari kasus ini sebelumnya muncul temuan dari Inspektorat Jenderal Kemenkes senilai Rp4 miliar. Angka tersebut masih bersifat umum karena tidak hanya muncul dari Poltekkes Mataram, tetapi ada dari Poltekkes Banda Aceh, dan Tasikmalaya, Jawa Barat.

Penyidik pernah meminta salinan dari temuan Itjen Kemenkes untuk kebutuhan audit kerugian negara. Namun, Itjen menolak permintaan tersebut sehingga penyidik menelusuri kerugian dengan menggandeng BPKP.