MATARAM - Tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat bantu belajar mengajar (ABBM) pada Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Mataram, Nusa Tenggara Barat, hingga sekarang belum ditahan penyidik kepolisian.
"Untuk tersangka, belum kami lakukan penahanan," kata Pelaksana Harian (Plh.) Kepala Bidang Humas Polda NTB Kombes Lalu Muhammad Iwan Mahardan di Mataram, Antara, Senin, 27 Februari.
Tersangka dalam kasus dugaan korupsi ini berjumlah dua orang. Mereka berinisial A dan Z yang hingga kini belum diungkap secara resmi oleh kepolisian perihal peran dan keterlibatan dalam kasus tersebut.
Terkait dengan belum menahan kedua tersangka terhitung sejak penetapan pada bulan Januari 2023, Iwan menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan penyidik. Meskipun demikian, Iwan memastikan pihaknya tetap melakukan pengawasan.
"Selama kami anggap keduanya bisa kooperatif dan tidak kabur keduanya tidak kami tahan," ujar dia.
Sikap kooperatif pun, jelas dia, telah ditunjukkan kedua tersangka dalam agenda pemeriksaan di hadapan penyidik. Keduanya dipastikan hadir dengan didampingi penasihat hukum.
"Pemeriksaan mereka sebagai tersangka untuk kelengkapan berkas. Hal itu sudah dilaksanakan penyidik," ucapnya.
Pengadaan ABBM pada Poltekkes Mataram ini bersumber dari APBN 2017 yang disalurkan melalui Kementerian Kesehatan RI dengan anggaran sebesar Rp19 miliar.
Pembelian barang ABBM melalui e-katalog. Namun, ada pula secara langsung melalui sistem tender yang dimenangkan tujuh perusahaan penyedia dengan melibatkan 11 distributor.
Salah satu item yang dibeli adalah boneka manekin. Alat tersebut untuk menunjang praktik di jurusan perawat, bidan, gizi, dan analis kesehatan.
Namun, barang yang bersumber dari pengadaan tersebut, diduga sebagian tidak bisa dimanfaatkan sehingga berstatus mangkrak. Alasan pihak kampus tidak bisa menggunakan karena tidak sesuai dengan kebutuhan kurikulum belajar.
Dari kasus ini, sebelumnya muncul temuan dari Inspektorat Jenderal Kemenkes RI senilai Rp4 miliar. Angka tersebut, kata dia, masih bersifat umum karena tidak hanya muncul dari Poltekkes Mataram, tetapi ada pula dari Poltekkes Banda Aceh dan Tasikmalaya Jawa Barat.
Penyidik pun pernah meminta salinan dari temuan Itjen Kemenkes RI untuk kebutuhan audit kerugian negara. Namun, Itjen menolak permintaan tersebut sehingga penyidik menelusuri kerugian dengan menggandeng BPKP.
Karena terkesan lamban sejak penanganan pada tahun 2018, kasus ini sempat mendapat sorotan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebagai bentuk atensi, komisi antirasuah secara rutin melakukan koordinasi dan supervisi (korsup) terkait dengan penanganan kasus tersebut.
Di awal September 2022, pihak KPK menggelar korsup dengan mengajak penyidik dan lembaga auditor BPKP untuk mencari solusi dari permasalahan yang menghambat perkembangan kasus tersebut.
BACA JUGA:
Tindak lanjut dari korsup tersebut, BPKP berhasil menyelesaikan penghitungan kerugian negara. Hasil hitung kini telah dikantongi penyidik. Namun, untuk nominal dari kerugian negara tersebut, Polda NTB belum mengungkap ke publik.