Bagikan:

MATARAM - Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat menetapkan dua orang tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat bantu belajar mengajar (ABBM) di Politeknik Kesehatan Mataram.

Pejabat Sementara Kepala Bidang Humas Polda NTB Komisaris Besar Polisi Lalu Muhammad Iwan Mahardan di Mataram, Selasa, membenarkan perihal penetapan tersangka dalam penanganan kasus korupsi tersebut.

"Iya, sudah ada dua tersangka yang ditetapkan," kata Iwan  dikutip ANTARA, Selasa 31 Januari.

Inisial dari dua tersangka tersebut adalah A dan Z. Perihal peran kedua tersangka, Iwan belum bersedia mengungkapkan ke publik. "Nanti saja ya," ujarnya.

Begitu juga dengan nilai kerugian negara hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB, Iwan meminta waktu untuk mengkonfirmasi kembali ke penyidik. "Nanti dicek dulu ya," ucapnya.

Meskipun belum menjelaskan secara lengkap, Iwan memastikan penyidik kini telah menyusun agenda baru. Pemeriksaan tersangka masuk dalam rangkaian penyelesaian perkara tersebut.

Pengadaan ABBM bersumber dari APBN tahun 2017 yang disalurkan melalui Kementerian Kesehatan dengan anggaran Rp19 miliar.

Pembelian barang ABBM dilakukan melalui e-katalog, namun ada yang secara langsung melalui sistem tender dan dimenangkan tujuh perusahaan penyedia dengan melibatkan 11 distributor.

Salah satu item yang dibeli adalah boneka manekin. Alat tersebut digunakan untuk menunjang praktik di jurusan perawat, bidan, gizi, dan analis kesehatan.

Namun, barang yang bersumber dari pengadaan tersebut diduga sebagian tidak bisa dimanfaatkan sehingga berstatus mangkrak. Alasan pihak kampus tidak bisa menggunakan karena tidak sesuai dengan kebutuhan kurikulum belajar.

Dari kasus ini, sebelumnya muncul temuan dari Inspektorat Jenderal Kemenkes senilai Rp4 miliar. Angka tersebut masih bersifat umum karena tidak hanya muncul dari Poltekkes Mataram, melainkan ada dari Poltekkes Banda Aceh dan Tasikmalaya, Jawa Barat.

Penyidik juga pernah meminta salinan dari temuan Itjen Kemenkes untuk kebutuhan audit kerugian negara. Namun, itjen menolak permintaan tersebut sehingga penyidik menelusuri kerugian dengan menggandeng BPKP.

Akibat terkesan lamban sejak penanganan pada tahun 2018, kasus ini sempat mendapat sorotan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebagai bentuk atensi, lembaga antirasuah itu secara rutin melakukan koordinasi dan supervisi (korsup) terkait penanganan kasus tersebut.

Terakhir pada awal September 2022, pihak KPK menggelar korsup dengan mengajak penyidik dan lembaga auditor BPKP untuk mencari solusi dari permasalahan yang menghambat perkembangan kasus tersebut.