Perlukah Pilkada Dilakukan Serentak pada 2024?
Ilustrasi (Raga Granada/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Draf Rancangan Undang-Undang Tentang Pemilihan Umum yang diajukan DPR per tanggal 26 November 2020 mengatur pemilihan kepala daerah (pilkada) selanjutnya dilaksanakan pada 2022 dan 2023. 

Melihat kondisi ini pendiri Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC), Saiful Mujani menilai pemilihan umum (pemilu) serentak dengan pilkada pada 2024 berisiko. Sebab, hal ini dapat menimbulkan tumpukan konflik dan risiko yang harusnya dikelola dengan baik dengan cara mendistribusikannya.

"Pilkada dan pemilu yang tersebar menurut waktu dan tempat, risiko terkelolanya lebih rendah selama pengalaman kita selama ini. Contoh mutakhirnya adalah Pilkada 2020 yang sukses: damai, voter turnout tinggi meski di tengah pandemi," kata Saiful dalam keterangannya yang diterima VOI, Senin, 1 Februari.

Pemerintah, kata dia, harusnya bisa melihat contoh pileg dan pilpres 2019. Saat itu, pemilu yang dilakukan tanpa terkelola dengan baik justru menimbulkan korban karena banyaknya petugas pemilu yang meninggal dunia dan hal ini harusnya menjadi pelajaran penting yang tak boleh diulang.

Apalagi, ide uji materi untuk menyatukan pileg dan pilpres yang pada akhirnya dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) juga sebenarnya lebih karena politik praktis ketimbang managability demokrasi dan tidak didasari oleh naskah akademis yang memadai.

Politik praktis yang dimaksud agar hasil pileg tidak menentukan pilpres. Dengan begitu, kata dia, partai kecil dapat mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden tanpa syarat perolehan suara partai karena dua pemilu ini dilakukan serempak. 

"Namun tujuan ini tak tercapai. Karena DPR tetap membuat UU agar capres didasarkan pada perolehan suara partai dari pemilu sebelumnya. Threshold-nya juga tetap tinggi sehingga hanya koalisi partai yang secara umum bisa mencalonkan," tegasnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin juga sepakat jika pemilu sebaiknya dilaksanakan pada 2022 dan 2023. Hal ini kata dia berfungsi untuk memecah keriuhan dan menjaga kondisi para penyelenggara pemilu yang ada di tingkat bawah.

"Bagusnya Pilkada memang dilakukan pada 2022 dan 2023 agar tak riuh dengan kontestasi lain yang akan terjadi di 2024 yaitu pileg dan pilpres. Pilkada di 2024 akan membuat penyelenggara pemilu di tingkat bawah kelelahan," tegas Ujang.

Selain menjaga para petugas penyelenggara pemilu, pengamat ini juga menilai jika pilkada dipaksakan untuk digelar pada 2024 mendatang, maka akan banyak daerah yang dipimpin oleh pelaksana tugas dan hal ini tidak sehat bagi gerak pemerintahan.

"Sejak 2022 hingga 2024 banyak gubernur, bupati, dan walikota yang habis masa jabatannya dan tak sehat jika selama 2 tahun pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh Plt (pelaksana tugas)," katanya.

Sebelumnya, dalam Pasal 731 draf RUU Pemilu per 26 November, Pilkada 2022 dilaksanakan untuk memilih kepala daerah dari pemilihan tahun 2017, sementara Pilkada 2023 untuk pemilihan kepala daerah dari pemilihan tahun 2018.

RUU Pemilu merevisi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota merupakan perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 (UU Pilkada).

Dalam UU Pilkada, pemilihan serentak nasional yang semula dilaksanakan pada 2022 dan 2023 diubah menjadi 2024.

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi NasDem, Saan Mustopa menyebut, RUU Pemilu yang mereka usulkan sebenarnya menormalisasi tahapan pilkada. Dia juga memaparkan, hampir semua fraksi partai di parlemen setuju bahwa pilkada selanjutnya digelar pada tahun 2022 dan 2023. 

Namun, satu fraksi PDI Perjuangan memberi catatan bahwa partainya, sebenarnya ingin pilkada diselaraskan di tahun 2024. Meski begitu, suara PDIP kalah dengan hampir semua fraksi di DPR.

"Hampir sebagian besar ingin pilkada siklusnya seperti sekarang saja. Nah, tapi di luar itu, PDIP saja yang memberi catatan. Yang lain lain inginnya dinormalisasikan," jelas Saan.

Meski DPR ingin agar pilkada berjalan normal 2022 dan 2023, pemerintah justru sebaliknya. Melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mereka menginginkan pilkada berikutnya digelar secara serentak pada tahun 2024.

Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar menyebut pihaknya tetap ingin menjalankan aturan dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pilkada.

"Jadi, posisi kami terhadap wacana tersebut bahwa mari kita menjalankan UU yang ada sesuai dengan amanat UU itu, UU Nomor 10 Tahun 2016 pasal 201 ayat 8, Pilkada serentak kita laksanakan di tahun 2024,” tegas Bahtiar.

Dengan demikian, Kemendagri menolak isi draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang menyatakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) dinormalisasi.

Hal itu, kata Bahtiar, bukanlah tanpa dasar, melainkan telah disesuaikan dengan alasan yuridis, filosofis, hingga sosiologis.

"Kami berpendapat bahwa UU ini mestinya dijalankan dulu, tentu ada alasan-alasan filosofis, ada alasan-alasan yuridis, ada alasan sosiologis, dan ada tujuan yang hendak dicapai mengapa Pilkada diserentakkan di tahun 2024," kata Bahtiar.

Terlebih, kata Bahtiar, fokus pemerintah saat ini adalah menghadapi pandemi COVID-19, mengatasi berbagai persoalan dari aspek kesehatan, hingga dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan akibat pandemi.

"Hari ini fokus utama kita adalah bagaimana bisa cepat mengatasi masalah Pandemi COVID-19, alhamdulillah sekarang ini sudah ada vaksin, itu prioritas kita sekarang adalah menyelamatkan masyarakat dan warga negara kita, jadi tentu ada prioritas-prioritas yang harus kita lakukan," pungkasnya.