Bagikan:

JAKARTA - Skor Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index Indonesia pada 2020 merosot hingga tiga poin menjadi 37 dari skor 40. 

Selain skor, peringkat Indonesia juga turun dari 85 menjadi 102. Hal ini kemudian menimbulkan kritikan dari sejumlah pegiat antikorupsi yang ada di Tanah Air.

Adalah Transparancy International Indonesia (TII) yang merilis Indeks Persepsi Korupsi pada Kamis, 28 Januari lalu. Manajer Departemen Riset TII Wawan Suyatmiko mengatakan berdasarkan penelitian mereka, Indonesia mengalami penurunan skor dan kalah dari Malaysia serta Timor Leste soal indeks antirasuah ini.

"CPI Indonesia tahun 2020 kita berada pada skor 37 dengan rangking 102. Skor ini turun tiga poin dari 2019," kata Wawan dalam pemaparannya yang ditayangkan di akun Facebook Transparency International Indonesia.

Dia kemudian mengungkap, dari sembilan indikator penilaian CPI ini, hanya satu indikator yang naik yaitu World Justice Project-Rule of Law Indeks. Sementara tiga sumber data mengalami stagnansi yaitu World Economic Forum Eos, Bartelsmann Foundation Transform Index, dan Economist Intelligence Unit Country Ratings.

Sedangkan yang mengalami penurunan adalah International Country Risk Guide, MD World Competitiveness Yearbook Indonesia, Global Insight Country Risk Ratings, Varieties of Democracy Projects, dan PERC Asia Risk Guide.

Kemudian, Wawan memaparkan di wilayah Asia Tenggara, dengan skor ini Indonesia berada di peringkat kelima. Adapun di peringkat satu ditempati oleh Singapura dengan skor 85.

Selanjutnya, pada peringkat dua terdapat Brunei Darussalam dengan skor 60, Malaysia dengan skor 51 dan Timor Leste 40.

Kemudian di peringkat keenam terdapat Vietnam dengan skor indeks persepsi 36, Thailand dengan skor 26, Filipina dengan skor 34 dan Laos dengan skor 29. Myanmar dengan skor 28 dan paling buncit adalah Kamboja dengan skor 21.

Sementara dengan 180 negara yang ada di dunia dan masuk ke dalam penelitian yang dilakukan oleh TII, Indonesia memiliki skor yang sama dengan Gambia.

Usai memaparkan data ini, Wawan mengatakan pencapaian skor IPK Indonesia mengalami titik balik. Sebab, sejak 2008 lalu, IPK Indonesia seringkali menanjak dan hanya beberapa kali stagnan.

Kritik pun berdatangan dengan adanya hasil penelitian TII ini. Dalam acara rilis tersebut, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menyampaikan kekecewaannya.

Dia mengatakan, penurunan ini harusnya jangan kemudian dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja melainkan harus disikapi lebih bijak lagi.

"Jangan kita menganggap (hasil ini, red) sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Karena 2019 kita dapat 40 dan kita kembali. Berarti kita kembali pada tahun 2016, 37. Jadi itu lima tahun ke belakang. Sehingga jangan kita anggap ini sesuatu yang biasa-biasa saja. Ini betul bukan lagi lampu kuning, tapi lampu merah," tegas Laode dalam acara yang sama.

Selain itu, dirinya juga menyinggung penurunan semacam ini tidak pernah terjadi di tahun sebelumnya. "Jadi siapa yang bertanggung jawab, ya itu stake holder utamanya," ungkapnya.

"Karena yang pertama adalah yang paling rentan itu adalah korupsi politik jadi diwakili yang paling atas dan korupsi di sektor penegakan hukum yaitu polisi, KPK, kejaksaan, Mahkamah Agung, penjara, dan lainnya. Dan tentunya adalah masyarakat kita semua," imbuhnya.

Kritikan juga datang dari eks Juru Bicara KPK Febri Diansyah. Melalui akun Twitternya @febridiansyah, pegiat antikorupsi ini menyebut penurunan indeks persepsi korupsi Indonesia dari 40 ke 37 pada 2020 adalah hal yang menyedihkan.

Berdasarkan data yang disajikan TII tersebut, dia lantas  meminta pemerintah dan berbagai kalangan berhenti mengatakan telah berhasil memberantas korupsi.

"Semoga pemerintah dan berbagai kalangan terkait berhenti menepuk dada mengatakan berhasil memberantas korupsi atau bahkan bilang KPK baik-baik saja di tengah penilaian global seperti ini," katanya seperti dikutip dari akun Twitternya.

"Lebih baik jujur dan hal ini jadi cermin agar kita semua lakukan evaluasi lebih serius," imbuhnya.

Reaksi kekecewaan juga disampaikan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan penurunan ini terjadi karena tiga hal.

Pertama, kata dia, hal ini terjadi karena adanya ketidakjelasan orientasi pemerintah dalam merumuskan kebijakan pemberantasan korupsi. Terlepas dari perubahan UU KPK, kata dia, sepanjang 2020, pemerintah dan DPR juga mengundangkan beberapa aturan yang mementingkan kelompok oligarki dan mengesampingkan nilai demokrasi.

"Sebut saja misalnya Omnibus Law UU Cipta Kerja. Tak bisa dipungkiri, pemerintah maupun DPR hanya mengakomodir kepentingan elite dalam kerangka investasi ekonomi dan mengesampingkan pentingnya tata Kelola pemerintahan yang baik," ungkap Kurnia dalam keterangan tertulisnya.

Kedua, menurutnya, ada kegagalan reformasi penegak hukum dalam memaksimalkan penindakan perkara korupsi. Kesimpulan ini bukan tanpa dasar karena merujuk dari data KPK, jumlah penindakan mengalami penurunan drastis sepanjang 2020 mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai pada instrumen penting seperti tangkap tangan.

"Namun penurunan ini dapat dimaklumi karena adanya perubahan hukum acara penindakan yang mengakibatkan penegakan hukum menjadi tumpul,"ujar Kurnia.

Ketiga adalah karena adanya perubahan performa KPK dalam memberantas korupsi. Kata Kurnia, sejak Firli Bahuri, cs dilantik, KPK lebih banyak melahirkan kontroversi ketimbang memperlihatkan prestasi.

Kemerosotan kerja KPK ini, menurut Kurnia, tak bisa dilepaskan dari keputusan politik pemerintah dan DPR dalam menentukan komisioner KPK saat ini. "Padahal KPK selama ini merupakan salah satu pilar penting pemberantasan korupsi yang menunjang kenaikan skor CPI Indonesia," tegasnya.

Meski kritikan datang karena adanya penurunan Indeks Persepsi Korupsi, Juru Bicara Presiden Joko Widodo (Jokowi) Fadjroel Rachman mengklaim presiden selalu berupaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan antikorupsi.

"Terkait publikasi Corruption Perception Index 2020 oleh Transparency International pada intinya Presiden Jokowi tegas menciptakan pemerintahan antikorupsi," kata Fadjroel dalam keterangan tertulisnya.

Dia menyebut Jokowi selalu meminta kementerian, lembaga, dan seluruh stake holder mengenai pencegahan korupsi. Tak hanya itu, eks Gubernur DKI Jakarta itu sering mengingatkan semua pihak untuk mendukung upaya para penegak hukum.

"Dan mendukung lembaga hukum untuk menindak para pelaku korupsi sesuai regulasi tanpa pandang bulu," tegasnya.

Sementara Plt Juru Bicara KPK bidang Pencegahan Ipi Maryati justru menilai, merosotnya IPK Indonesia di 2020 ini menjadi penanda jika negara ini dipersepsikan tak serius dalam melakukan pemberantasan korupsi.

"Indonesia, dengan begitu masih dipersepsikan sebagai negara yang korup. Indonesia juga dapat dipersepsikan relatif tak serius dan tidak konsisten dalam upaya pemberantasan korupsi," ungkap Ipi.

Sehingga, dengan turunnya IPK ini, upaya pemberantasan korupsi harus jadi perhatian serius bagi semua pihak, bukan hanya pemerintah. Sebab, masalah korupsi bukan hanya bisa diselesaikan dengan jargon dan slogan tapi juga kerja nyata dan kolaborasi seluruh elemen bangsa.

"Karenanya, pemberantasan korupsi tidak boleh berhenti pada tataran jargon atau slogan semata. Demikian juga dengan sistem reformasi birokrasi jangan berhenti sebatas slogan atau tataran administratif belaka," tegasnya.

"Tanpa aksi kolaboratif antara negara dan masyarakat, serta seluruh elemen bangsa, maka korupsi di Indonesia sulit diatasi," pungkasnya.