Bagikan:

JAKARTA - Konflik di Sudan memasuki hari ke-100 pada Hari Minggu, saat upaya mediasi oleh kekuatan-kekuatan regional dan internasional gagal menemukan jalan keluar dari konflik yang semakin sulit dipecahkan.

Pertempuran pecah pada tanggal 15 April ketika militer Sudan dan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) bersaing memperebutkan kekuasaan. Sejak saat itu, lebih dari 3 juta orang telah mengungsi, termasuk lebih dari 700.000 orang yang mengungsi ke negara-negara tetangga.

Sekitar 1.136 orang telah terbunuh, menurut kementerian kesehatan, meskipun para pejabat percaya bahwa jumlahnya lebih tinggi.

Baik tentara maupun RSF tidak dapat mengklaim kemenangan, dengan dominasi RSF di darat di ibu kota Khartoum, yang tidak sebanding dengan kekuatan udara dan artileri tentara.

Infrastruktur dan pemerintahan di ibu kota telah hancur berantakan, sementara pertempuran telah menyebar ke arah barat, terutama ke wilayah Darfur yang rapuh, serta ke arah selatan, di mana kelompok pemberontak SPLM-N telah mencoba untuk mendapatkan wilayah.

Selama akhir pekan, RSF bergerak ke desa-desa di Negara Bagian Gezira, tepat di selatan Khartoum, di mana tentara melakukan serangan udara terhadap mereka, menurut para saksi mata.

Di Nyala, salah satu kota terbesar di negara itu dan ibukota Darfur Selatan, bentrokan terus berlanjut sejak hari Kamis di daerah pemukiman, menurut para saksi mata. Sedikitnya 20 orang telah tewas, kata sumber-sumber medis. Sedangkan PBB mengatakan 5.000 keluarga telah mengungsi, dan penduduk melaporkan adanya penjarahan terhadap fasilitas-fasilitas utama.

"Peluru-peluru beterbangan ke rumah-rumah. Kami ketakutan dan tidak ada yang melindungi kami," kata Salah Abdallah, melansir Reuters 24 Juli.

Pertempuran tersebut memberi jalan bagi serangan-serangan yang ditargetkan secara etnis oleh milisi-milisi Arab dan RSF di Darfur Barat, di mana ratusan ribu orang mengungsi ke Chad.

Penduduk juga menuduh tentara RSF menjarah dan menduduki sebagian besar wilayah ibukota. Sebagai tanggapan, RSF mengatakan akan melakukan penyelidikan.

Meskipun kedua belah pihak yang bertikai telah menunjukkan keterbukaan terhadap upaya-upaya mediasi yang dipimpin oleh aktor-aktor regional dan internasional, tidak ada yang menghasilkan gencatan senjata yang berkelanjutan.

Kedua belah pihak telah mengirim delegasi untuk mencoba memulai kembali pembicaraan di Jeddah, Arab Saudi yang telah menghasilkan gencatan senjata yang sering dilanggar.

Namun, Menteri Luar Negeri Sudan mengatakan pada Hari Jumat, pembicaraan tidak langsung belum dimulai secara serius.

Diketahui, para pemimpin militer dan RSF mengepalai sebuah dewan bersama sejak penggulingan mantan penguasa Omar al-Bashir pada tahun 2019. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai rencana transisi menuju demokrasi.

Kelompok-kelompok politik sipil serta RSF menuduh tentara menutup mata, terhadap kemunculan para loyalis Bashir yang dicari dalam beberapa hari terakhir.

Sedangkan Pasukan Kebebasan dan Perubahan, koalisi sipil utama, mengatakan pada Hari Minggu, mereka mengadakan pertemuan di Mesir, yang menawarkan diri sebagai mediator dalam konflik tersebut.