JAKARTA - Pemerintah China memperkenalkan protokol baru dalam melakukan pengujian atau tes COVID-19 yaitu tes swab anal. Perkenalan protokol baru yaitu tes swab anal telah dilakukan di China dengan memanfaatkan media pemerintahan.
Protokol baru ini dilakukan karena dari sebuah hasil penelitian, terlihat pasien yang pulih dari COVID-19 kemudian mendapat hasil tes positif setelah melalui tes swab pada saluran pencernaan bagian bawah. Padahal, beberapa hari sebelumnya, pasien ini telah melakukan tes swab di hidung dan tenggorokan yang kemudian menunjukkan hasil negatif.
Selanjutnya, pemerintah China bakal melaksanakan pengujian ini hanya pada kelompok tertentu, seperti di pusat karantina.
"Jika kami menambahkan tes swab anal ini, dapat meningkatkan tingkat dalam mengidentifikasi pasien yang terinfeksi," kata Li Tongzeng, spesialis penyakit menular di Rumah Sakit Beijing You'an.
"Tapi tentu saja, mengingat mengumpulkan swab dubur tidak senyaman swab tenggorokan, saat ini hanya kelompok kunci seperti mereka yang berada di karantina yang menerima keduanya," tambahnya.
Sebenarnya, China telah mencoba prosedur pengujian swab anal ini pada kelompok kecil tahun lalu yang hasilnya kemudian diedarkan di jurnal penelitian.
Sekelompok peneliti China menerbitkan sebuah penelitian di jurnal Future Microbiology pada Agustus yang melaporkan bahwa untuk beberapa pasien virus corona yang pulih, sampel swab anal masih positif COVID-19 setelah mereka dites negatif melalui swab tenggorokan.
Saat proses tes dilakukan, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China menerbitkan instruksi pada Maret 2020. Dikatakan, sampel yang bisa digunakan merupakan kotoran dari pasien. Namun jika hal tersebut tak memungkinkan, maka dilakukan swab anal dengan memasukkan tongkat berujung kapas tiga sampai lima sentimeter ke dalam rektum.
BACA JUGA:
Memicu reaksi negatif dari publik di China
Bagi beberapa orang, swab hidung dan tenggorokan sudah sangat tidak nyaman apalagi jika harus melakukan swab anal. Menurut warganet China yang menumpahkan kekhawatiran di media sosial Weibo menilai, pengujian ini bukan hanya tidak nyaman tapi juga menimbulkan rasa malu.
"Semua orang yang terlibat akan sangat malu," kata seorang warganet di provinsi Guangdong di Weibo, sebuah platform media sosial China.
Selain dari komentar warganet, dalam jajak pendapat di Weibo, 80 persen responden mengatakan mereka "tidak dapat menerima" metode swab anal tersebut.
Media sosial China juga dibanjiri dengan komentar ketidakpercayaan dan kekhawatiran tentang prosedur tes baru. “Sulit bagi perawat,” kata salah seorang warganet di Weibo.
“Kita harus benar-benar berusaha keras untuk menghindari tertular virus corona!!” kata lainnya.
BACA JUGA:
Mungkinkah diterapkan di Indonesia?
Peneliti di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sugiyono Saputra menilai uji usap atau swab anal bisa dilakukan di Indonesia.
"Mungkin saja (dilakukan di Indonesia, red) tapi mungkin kalau anal swab kan dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan," kata Sugiyono saat dihubungi VOI, Kamis, 28 Januari.
Menurutnya, anal swab memang bisa digunakan untuk mendeteksi SARS-CoV-2 atau COVID-19 sebab virus ini memang dapat teridentifikasi melalui pencernaan juga darah. Apalagi, virus ini dapat bertahan lebih lama dibandingkan di saluran pernapasan.
"Biasanya SARS-Cov-2 bisa terdeteksi lebih lama di feses. Rata-rata sekitar 17 hari ya kalau di saluran pernapasan sekitar 14 hari. Tapi walaupun bisa terdeteksi lebih lama di situ meski viabilitasnya belum tentu ya," ungkapnya.
Melihat kondisi ini dia menilai anal swab bisa menjadi alternatif. Tentunya, sebelum melakukan secara mandiri orang yang akan melakukannya diberitahu secara benar bagaimana tekniknya agar pengujian bisa dilakukan secara benar dan tidak terkontaminasi.
"Jadi beda dengan naso atau oro swab yang memang jelas harus dilakukan oleh orang lain yang berpengalaman," tegasnya.
Pandangan berbeda justru disampaikan oleh ahli wabah dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. Dia tak menampik jika COVID-19 bisa ditemukan di feses maupun anus atau rectal para penderitanya, namun dia menilai dalam penggunaan umum dia masih menilai cara yang paling tepat untuk melakukan pengujian sebaiknya dilakukan nasofaring atau orofaring swab seperti biasanya.
"Itu lebih baik walaupun memang tidak nyaman. Sebab, jika ingin menerapkan swab anal tentu harus ada kajian lebih jauh lah. Betul memang jika virus bisa bersarang di saluran pencernaan namun upaya untuk melakukan swab anal ini juga perlu mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan kenyamanan pasien," kata Dicky.
Lagipula, dia menilai COVID-19 adalah penyakit pernafasan yang memang berdampak sistemik. "Tapi kan penularan yang utama masih melalui respiratorius seperti droplet, aerosol, vomit, dan itu semua dari hidung dan mulut ini," ungkapnya.
"Jadi sekali lagi, saya berpandangan ini enggak terlalu urgent... Meski memang terdeteksi melalui kotoran tapi (kejadian) ini masih sangat amat jarang sekali," pungkasnya.