Bagikan:

JAKARTA - Arab Saudi menyambut baik pengesahan Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas sebuah resolusi yang mengecam kebencian terhadap agama, setelah aksi pembakaran Al-Qur'an yang terjadi baru-baru ini di depan umum menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara Muslim terkemuka.

Resolusi "Melawan Kebencian Agama yang Merupakan Hasutan untuk Melakukan Diskriminasi, Permusuhan atau Kekerasan," diadopsi setelah menerima 28 suara setuju, 12 menentang dan tujuh abstain, menurut situs web dewan tersebut.

Resolusi yang diusulkan oleh Pakistan atas nama Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara tersebut, menyerukan kepada kepala hak asasi manusia PBB untuk menerbitkan sebuah laporan tentang kebencian agama dan agar negara-negara meninjau kembali undang-undang mereka, menutup celah yang dapat "menghambat pencegahan dan penuntutan terhadap tindakan-tindakan dan advokasi kebencian agama."

"Mengadopsi resolusi tersebut setelah adanya tuntutan yang terus menerus dari Kerajaan dan banyak negara di seluruh dunia, mewujudkan prinsip-prinsip penghormatan terhadap agama dan budaya serta memperkuat nilai-nilai kemanusiaan yang dijamin oleh hukum internasional," ujar Kementerian Luar Negeri Arab Saudi dalam sebuah pernyataan, melansir Al Arabiya 13 Juli.

Resolusi ini muncul setelah seorang imigran Irak di Swedia membakar Al-Qur'an di luar sebuah masjid di Stockholm bulan lalu, memicu kemarahan di seluruh dunia Muslim dan tuntutan dari negara-negara Muslim untuk bertindak.

Arab Saudi, menurut pernyataan itu, akan melanjutkan upaya-upaya yang mengedepankan dialog dan toleransi sambil menolak semua tindakan yang berusaha menyebarkan kebencian dan ekstremisme.

Sementara itu, Kepala Hak Asasi Manusia PBB Volker Turk menyoroti batas antara kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap keyakinan agama.

Ia menyerukan penghormatan terhadap "semua orang", termasuk para migran dan mereka yang mengenakan jilbab.

Dikatakannya, pembakaran Al-Qur'an baru-baru ini tampaknya merupakan pertunjukan intoleransi yang dibuat-buat untuk "mengadu domba" di antara manusia.

"(Pembakaran Al-Qur'an) tampaknya telah dibuat untuk mengekspresikan penghinaan dan mengobarkan kemarahan, untuk mendorong perpecahan di antara orang-orang dan memprovokasi untuk mengubah perbedaan perspektif menjadi kebencian dan mungkin kekerasan," kata Turk, seperti dikutip dari The National News.

Turk melanjutkan, masyarakat harus menunjukkan rasa hormat kepada "semua orang" dan menegaskan "advokasi kebencian yang merupakan hasutan untuk melakukan kekerasan, diskriminasi, dan permusuhan harus dilarang di setiap negara".

Turk juga mengatakan, ujaran kebencian dalam berbagai bentuk sedang meningkat, bahkan ketika ujaran tersebut tidak selalu dianggap menghasut kekerasan.

"Merendahkan martabat perempuan dan menyangkal kesetaraan mereka dengan laki-laki; melecehkan perempuan Muslim dan gadis-gadis yang mengenakan jilbab secara verbal; mencemooh penyandang disabilitas; membuat klaim yang salah bahwa para migran atau orang-orang dari etnis tertentu lebih mungkin terlibat dalam kejahatan, semua ujaran kebencian semacam itu serupa dalam hal ini karena berasal dari anggapan dasar bahwa beberapa orang kurang layak dihormati sebagai manusia," paparnya.

Selama perdebatan, beberapa negara Barat mengutuk intoleransi namun menegaskan hak kebebasan berekspresi. Sebaliknya, beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam menginginkan pemerintah berbuat lebih banyak untuk melarang ekspresi intoleransi agama yang dapat mengarah pada kekerasan.

"Kami ingin menekankan, kebebasan berekspresi adalah nilai etis yang seharusnya menyebar untuk hidup berdampingan secara damai, bukannya menyebabkan benturan peradaban," ujar Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan,

"Kita harus menyebarkan nilai-nilai toleransi," tandasnya.