Bagikan:

JAKARTA - Komisi III DPR menyoroti kasus kekerasan seksual yang tak kunjung surut. Pemerintah diingatkan lagi segera menerbitkan aturan turunan UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sehingga beleid ini dapat diimplementasikan dengan efektif.

"Kita tidak bisa menutup mata kasus kekerasan seksual di Indonesia saat ini semakin marak, dan ini harus menjadi keprihatinan bersama,” kata Anggota Komisi III DPR, Didik Mukrianto, Senin 10 Juli.

Sorotan Didik mengarah pada kasus kekerasan seksual warga Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Suami menjual istrinya sendiri ke pria hidung belang dengan dalih kebutuhan ekonomi. Kasus ini ditangani oleh Polresta Solo karena penangkapan terjadi di daerah tersebut.

“Kasus ini menjadi bagian dari fenomena gunung es tindakan kekerasan seksual yang telah menjadi momok di Tanah Air. Sangat miris sekali dan kita ketahui bersama kasus seperti ini sebenarnya banyak ditemukan terjadi di Indonesia,” ucapnya.

Didik mengapresiasi Polresta Solo yang menjerat pelaku dengan UU TPKS dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan ancaman 12-15 tahun penjara.

"Tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk ekspolitasi seksual juga menjadi salah satu obyek yang diatur UU TPKS. Bahkan lebih jauh untuk kasus-kasus tertentu bisa masuk dalam Tindak Pidana Human Traficking dan juga Predicate Crime TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang)," jelas Didik.

Selain di Solo, penegak hukum juga menerapkan UU TPKS dalam kasus kekerasan seksual di Jembarana, Bali. Dua pria paruh baya diadili karena melakukan pemerkosaan terhadap seorang gadis ABG berkebutuhan khusus.

Langkah polisi dalam 2 kasus itu pun dinilai merupakan langkah maju pihak penegak hukum. Sebab, kata Didik, di lapangan masih banyak ditemukan penolakan dari penyidik kepolisian untuk menggunakan UU TPKS dengan alasan belum ada aturan teknis atau pelaksananya.

“Penanganan kasus oleh Polresta Solo dan Polres Jembarana ini adalah langkah maju dari pihak kepolisian yang harus diikuti penyidik-penyidik lainnya dalam kasus kekerasan seksual,” tegasnya.

Langkah kedua polres tersebut menjadi angin segar di tengah maraknya kasus kekerasan seksual. Didik mengingatkan kembali kepada para penegak hukum, bahwa UU TPKS sudah bisa digunakan merujuk perintah Kapolri melalui Surat Telegram nomor ST/1292/VI/RES.1.24/2022 yang meminta semua Kapolda di Indonesia memerintahkan semua institusi kepolisian di semua wilayah untuk menegakkan UU TPKS.

“Mestinya Polisi tidak perlu ragu untuk menerapkan UU TPKS dalam kasus-kasus kekerasan seksual walaupun belum ada aturan teknis atau pelaksananya, karena pengaturan dalam UU TPKS terang dan operasional” sebutnya.

“Jika selama ini masih banyak ditemukan keengganan penyidik kepolisian menerapkan UU TPKS dengan alasan belum ada juklak dan juknis, maka saatnya Polisi bertindak lebih progresif. Jangan menunggu semakin banyaknya korban berjatuhan,” lanjut Didik.

Legislator dari Dapil Jawa Timur IX itu pun menyayangkan masih adanya penanganan kasus kekerasan seksual yang berlarut-larut. Didik memberi contoh soal kasus dugaan pencabulan santri pria yang dilakukan oknum pimpinan pesantren di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat (Sulbar) di mana dalam kasus tersebut, penanganan kasus oleh kepolisian dianggap sejumlah kalangan berjalan lamban.

“Jangan lupa, dalam UU TPKS penyidik kepolisian harus menerima pengaduan perkara kekerasan seksual. Polisi tidak boleh menolak kasus kekerasan seksual dengan alasan apapun. Jadi kasusnya harus segera diusut tuntas sekalipun melibatkan tokoh ternama. Tidak boleh tebang pilih,” ucapnya.

Selain penegakan hukum, UU TPKS juga mengatur hak perlindungan hingga pemulihan korban yang meliputi hak atas penanganan terhadap kasusnya. Didik berharap, pihak kepolisian memiliki peran dalam mempercepat proses penyelidikan dan penyidikan pada setiap kasus kekerasan seksual.

"Korban memiliki hak atas penanganan misalnya mendapat dokumen hasil penanganan, layanan hukum, penguatan psikologis, perawatan medis, hingga hak untuk menghapus konten seksual berbasis elektronik yang menyangkut korban," urainya.

Selain itu, korban kekerasan seksual di UU TPKS juga mendapat hak perlindungan meliputi kerahasiaan identitas serta perlindungan dari tindakan merendahkan yang dilakukan oleh aparat yang menangani kasus. Kemudian perlindungan atas kehilangan pekerjaan, mutasi, pendidikan, hingga akses politik.

"Sementara hak pemulihan meliputi, rehabilitasi medis dan mental, restitusi dari pelaku atau kompensasi dari negara, hingga reintegrasi sosial. Pemulihan itu didapat korban mulai proses hingga setelah proses peradilan," sebut Didik.

Oleh karenanya, DPR mengajak semua pihak untuk berkontribusi membantu pencegahan tindak kekerasan seksual serta mengawal kasus-kasunya. Dengan begitu, menurut Didik, setidaknya kasus kekerasan seksual di Indonesia dapat diminimalisir.

"Pengawasan dan partisipasi dari masyarakat harus diperkuat. Melihat korban kasus kekerasa seksual terus berjatuhan, selain penindakan, Pemerintah juga harus ekstra efforts untuk melakukan pencegahan,” ungkapnya.

“Kita harus mengingat lahirnya UU TPKS tidaklah mudah. Perlu waktu lama dengan banyak peluh dan dinamika yang terjadi. Jangan mengkhianati perjuangan kelahiran UU TPKS, karena ini demi kepentingan semua warga negara,” pungkas Didik.