JAKARTA - Ribuan ton ikan mati terdampar di tepi sungai Provinsi Maysan, Irak selatan, kondisi yang digambarkan sebagai bencana ekologis.
Pemandangan yang menyedihkan terungkap sebagai akibat dari peningkatan salinitas dan polusi yang signifikan, yang berasal dari kekurangan pasokan air tawar di kawasan itu.
"Alasannya adalah kurangnya pasokan air dari Sungai Tigris yang mengaliri sungai-sungai kecil dan kanal-kanal di beberapa bagian provinsi," kata aktivis lingkungan Ahmed Salih Nima kepada The National News, seperti dikutip 5 Juli.
"Kurangnya pasokan air menyebabkan penurunan oksigen dan peningkatan tingkat salinitas, menyebabkan pH (tingkat keasaman atau alkalinitas) meningkat, membunuh jutaan ikan," papar Nima.
"Pasokan air yang berkelanjutan diperlukan untuk menyegarkan air di sungai dan kanal ini agar suhu tetap rendah dan tidak menurunkan oksigen dan meningkatkan kadar salinitas," tandasnya.
Saluran air yang dulunya hidup di Distrik Al Mijar Al Kabeer dan sekitarnya, yang menopang kehidupan air yang melimpah dan mendukung mata pencaharian lokal, sekarang menyerupai kuburan, dengan tubuh ikan tak bernyawa hanyut melintasi tepian sungai sejauh bermil-mil.
Perahu-perahu sekarang berjuang untuk mengarungi sungai dan kanal yang dulu berkembang pesat, menambah dampak buruk bagi masyarakat lokal yang sebagian besar bergantung pada penangkapan ikan dan bisnis yang didukungnya.
Padahal, daerah yang terkena dampak, sekitar 70 km barat daya ibu kota provinsi Maysan, Amara, biasa mengekspor 8-10 ton ikan sehari ke provinsi selatan, kata Nima.
"Hari ini, itu benar-benar hilang. Ribuan orang yang bergantung pada nelayan kini terkena dampaknya, mulai dari nelayan hingga usaha lain seperti penjual es, tukang reparasi perahu, supir truk, pedagang grosir dan eceran," jelas Nima.
Tak hanya itu, peternak sapi, yang mengandalkan sungai selama beberapa generasi, juga merugi.
"Kami sedang mengalami situasi sulit yang tak terkatakan. Ikan hilang dan ternak kami mati karena kekurangan air dan salinitas tinggi," kata Naim Hussein Joeiber kepada The National News.
Ayah sembilan anak berusia 60 tahun itu sejauh ini telah kehilangan empat ekor sapi dan dua ekor kerbau dari total 30 ekor, tetapi tidak memiliki pilihan selain tetap tinggal di daerah tersebut.
"Tidak ada setetes air pun dan kami menunggu pemerintah untuk membantu kami. Kami tidak bisa pergi ke kota, kami tidak tahu bagaimana tinggal di sana," ujarnya.
Besarnya bencana telah menimbulkan kekhawatiran dari para ilmuwan dan ahli lingkungan, tentang konsekuensi ekologis jangka panjang bagi wilayah tersebut.
Investigasi awal menunjukkan pertemuan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap bencana lingkungan ini.
Penyebab utamanya adalah kenaikan tingkat salinitas yang mengkhawatirkan, yang membuat sungai tidak ramah bagi spesies ikan air tawar halus yang pernah berkembang biak di perairannya.
Kelangkaan pasokan air tawar karena kekeringan yang berkepanjangan dan penggunaan air yang berlebihan, juga menyebabkan masuknya air asin dari badan air tetangga, sangat mengganggu keseimbangan ekosistem.
Jumlah oksigen dalam air telah menurun hingga 25 persen dari tingkat minimum, terang Dr. Bassim Oraibi, direktur jenderal Rumah Sakit Hewan Maysan.
Menurut Dr. Oraibi, tingkat minimum harus antara 2mg hingga 5mg per liter. Tapi sekarang berada di 0,5 mg/l. Tingkat polusi yang mengkhawatirkan semakin memperburuk krisis.
Pembuangan limbah industri yang tidak terpantau, limbah yang tidak diolah, dan limpasan pertanian ke sungai telah mengubah airnya menjadi beracun, membunuh ikan dan organisme air lainnya.
Tidak adanya sistem pengelolaan limbah yang efektif dan peraturan lingkungan di wilayah tersebut, turut mempercepat penurunan kualitas air.
Situasi tersebut telah mendorong seruan untuk tindakan segera dari pihak berwenang.
Para pencinta lingkungan dan warga yang peduli mendesak pemerintah untuk memprioritaskan pemulihan pasokan air tawar dan menerapkan langkah-langkah pengendalian polusi yang ketat.
Kebutuhan akan sistem pengelolaan limbah yang kuat dan praktik pertanian berkelanjutan menjadi lebih mendesak daripada sebelumnya.
Diketahui, dikenal pada zaman kuno sebagai Mesopotamia atau Tanah Antara Dua Sungai, Irak berada di jantung wilayah yang dikenal sebagai Bulan Sabit Subur.
Saat ini, PBB mengklasifikasikan negara kaya minyak itu sebagai negara paling rentan kelima di dunia terhadap perubahan iklim.
Krisis airnya yang parah secara bertahap memburuk selama beberapa dekade, dipengaruhi secara negatif oleh perubahan iklim, salah urus, dan polusi.
Desertifikasi mempengaruhi 39 persen negara dan 54 persen lahan pertaniannya telah terdegradasi, terutama karena salinitas tanah yang disebabkan oleh tingkat air yang rendah secara historis di kedua sungai, berkurangnya curah hujan dan kenaikan permukaan laut.
BACA JUGA:
Tak hanya itu, dua sumber air utama Irak, sungai Tigris dan Efrat, yang menyumbang lebih dari 90 persen cadangan air tawar negara itu, telah menurun secara signifikan selama bertahun-tahun. Pembangunan bendungan dan pengalihan air ke hulu di Turki dan Iran telah memperburuk krisis, membuat negara-negara hilir seperti Irak kekurangan air.
Ini diperburuk dengan perang dan konflik selama beberapa dekade, merusak atau menghancurkan infrastruktur negara, menyebabkan hilangnya air dan distribusi yang tidak efisien.
"Saya perkirakan lingkungan di Maysan akan menjadi lebih buruk secara drastis dalam dua minggu mendatang dan kita akan kehilangan lebih banyak ikan di daerah lain," ujar Nima memperingatkan.