JAKARTA - Pemerintah secara resmi mengumumkan bahwa pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pada sepanjang 2020 akan berada di level minus 2,2 persen hingga minus 1,7 persen. Kontraksi tersebut paling banyak disebabkan oleh dampak pandemi yang mulai merebak pada akhir kuartal I tahun lalu.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri menyebut bahwa perjalanan 2020 sebagai fase kritis terhadap sektor finansial. Lembaga pimpinan Wimboh Santoso ini kemudian mengeluarkan POJK 11/POJK.03/2020 sebagai respon untuk mengurangi turbulensi di industri keuangan pada Maret 2020.
Salah satu pokok penting dalam beleid ini adalah kebijakan restrukturisasi kredit untuk pembiayaan sampai dengan Rp10 miliar. Dalam perjalanannya,hingga 4 Januari nilai restrukturisasi ini mencapai Rp971 triliun dengan jumlah debitur sebanyak 7,5 juta nasabah.
Dari besaran nilai tersebut, Rp386,6 triliun merupakan debitur yang berasal dari segmentasi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dengan jumlah nasabah 5,81 juta orang. Sementara Rp584,4 triliun lainya merupakan debitur non-UMKM yang disebutkan sebanyak 1,7 juta orang.
Meski nominal perbaikan kredit hampir menyentuh Rp1.000 triliun, Ketua Dewan Komisioner OJK memastikan bahwa angka tersebut merupakan titik puncak restrukturisasi kredit maupun pembiayaan.
“Sudah flat (nilai restrukturisasi perbankan) saat ini,” tegas Wimboh Santoso.
Dia juga menyebut bahwa pertumbuhan kredit pada tahun ini akan berada pada level yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan 2020. Pasalnya, setelah terkoreksi cukup dalam pada tahun lalu, lonjakan intermediasi perbankan diyakini bakal terjadi sebelum menyentuh level normal.
“Sama seperti krisis 1997 atau 1998 lalu, dan krisis keuangan pada 2008 silam di mana setelah melewati fase kritis kredit bisa tumbuh sampai 25 persen, saya ingat sekali itu. Namun, setelah itu akan kembali ke level normal,” tutupnya.
Sebagai informasi, Otoritas Jasa Keuangan mengungkapkan bahwa pada 2020 pertumbuhan kredit perbankan terkontraksi cukup dalam menjadi minus 2,41 persen. Angka tersebut berbeda jauh dibandingkan dengan performa pembiayaan perbankan syariah yang masih tumbuh 9,5 persen.
Adapun, empat bank bumn yang tergabung dalam Himpunan Bank Negara (Himbara) hanya mampu naik tipis sebesar 0,6 persen.
Burden sharing Bank Indonesia
Bank Indonesia (BI) sebagai salah satu lembaga pengawal stabilitas keuangan juga memainkan peranan penting dalam menopang guncangan melalui skema burden sharing. Lewat cara ini, otoritas moneter untuk pertama kalinya bisa langsung mencaplok surat utang yang dirilis pemerintah lewat pasar perdana.
Padahal, BI sejatinya tidak boleh melakukan intervensi di pasar keuangan yang bersifat langsung karena memiliki posisi sebagai institusi independen dalam industri. Namun, kebijakan akomodatif ini ditempuh guna turut membantu pemerintah dalam menghimpun pembiayaan belanja negara.
Langkah strategis bank sentral bersama pemerintah ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Hingga 15 Desember 2020, Bank Indonesia diketahui telah menyerap Rp473,4 triliun surat berharga negara (SBN) lewat skema pembagian beban alias burden sharing.
Meski demikian, Gubernur BI Perry Warjiyo memastikan tidak akan memperpanjang skenario burden sharing pada tahun ini.
“Yang kami lakukan pada 2021 adalah dengan membeli surat utang pemerintah melalui pasar perdana tetapi dengan mekanisme lelang sebagai non competitive bidder,” ujarnya dalam seminar virtual, Jumat, 22 Januari.
Selain itu, Perry juga menjelaskan bahwa bank sentral melakukan operasi moneter yang sama melalui lelang tambahan atau greenshoe option.
“Jadi berbeda dengan burden sharing yang kami lakukan pada tahun lalu dimana BI menjadi pembeli langsung, baik itu untuk yang public goods maupun non public goods,” tuturnya.
Bos otoritas moneter itu merinci, hingga 19 Januari 2020, Bank Indonesia disebutkan telah mengoleksi surat berharga negara (SBN) senilai Rp13,66 triliun. Angka itu terdiri dari Rp9,18 triliun melalui skema utama dan Rp4,48 triliun lainnya diperoleh lewat lelang tambahan.
Kebijakan fiskal
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai ujung tombak penanganan krisis dan pemulihan ekonomi. Pada sepanjang 2020, instrumen fiskal ini fokus pada dua hal. Pertama, pengendalian pandemi melalui sektor kesehatan. Kedua soal pelaksanaan program perlindungan sosial melalui pemberian sejumlah bantuan.
Guna mencukupi anggaran kedua sektor tersebut, pemerintah mengakomodir perubahan postur APBN melalui Perpres 54/2020 dan kemudian diubah lagi menjadi Perpres 72/2020.
Salah satu yang menyita perhatian adalah kebijakan melebarkan defisit menjadi 6,34 persen terhadap PDB. Padahal, defisit anggaran biasanya ditetapkan tidak melewati angka 3 persen produk domestik bruto.
Keputusan memperbesar angka selisih pendapatan dan belanja itu ditujukan agar negara mempunyai ruang untuk melakukan penanganan krisis pandemi. Rencananya, defisit anggaran akan berada dalam situasi extraordinary paling lama hingga 2023.
Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan bahwa dalam realisasi APBN 2020 terjadi defisit anggaran sebesar Rp956,3 triliun atau setara dengan 6,09 persen dari PDB.
Pemerintah sendiri dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) diketahui menghabiskan anggaran tidak kurang dari Rp579,7 triliun. Jumlah itu setara dengan 83 persen pagu anggaran yang disediakan oleh negara sebesar Rp695 triliun.
Perlindungan sosial menjadi prioritas utama dengan serapan Rp220 triliun. Lalu diikuti oleh beberapa sektor lain, seperti kesehatan Rp65 triliun, sektor kementerian/lembaga dan pemda Rp66,5 triliun, serta insentif dunia usaha sekitar Rp50 triliun.
BACA JUGA:
Optimisme 2021
Pemerintah yakin situasi pada sepanjang 2021 akan lebih terkendali dibandingkan dengan periode sebelumnya. Hal tersebut didasari oleh proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2020 yang diyakini akan berada di level 4,5 persen hingga 5,5 persen. Sebelumnya, pertumbuhan sempat terpuruk ke level terendah minus 5,3 persen pada kuartal II/2020 dan minus 3,49 di kuartal III/2020.
Optimisme itu sejalan dengan prediksi IMF dan Bank Dunia yang memperkirakan ekonomi global tumbuh di kisaran 4 persen hingga 5,2 persen pada sepanjang 2021.
Indikator lain pemulihan ekonomi telah berjalan di jalur yang benar dapat dilihat dari indeks harga saham gabungan yang telah kembali ke ‘habitat’ 6.000 setelah sempat terkoreksi cukup dalam pada Maret 2020 lalu dengan 3.900-an.
Intermediasi perbankan juga diyakini akan bangkit sejalan dengan permintaan dana dari pelaku usaha yang sudah mulai meningkat . OJK mengatakan bahwa kredit perbankan bisa tumbuh 6-7 persen tahun ini. Kemudian, indeks kepercayaan konsumen juga naik ke level 96,5 pada Desember 2020.
Dari keseluruhan parameter positif ini, aspek utama yang paling penting untuk dikelola adalah kesuksesan program vaksinasi. Sebab, tanpa sinyal positif dari sektor kesehatan, seluruh indikator tersebut dipastikan akan jalan ditempat dan pertumbuhan bakal berada pada kondisi semu akibat keterbatasan ruang ekspansi.