Bagikan:

BANDA ACEH - Rumoh Geudong Pidie, Aceh, tempat terjadinya pelanggaran HAM berat masa lalu telah diratakan jelang kedatangan Presiden Joko Widodo untuk melakukan kick off penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di lokasi tersebut.

Pj Bupati Pidie, Wahyudi Adisiswanto, mengatakan Presiden Joko Widodo berkunjung ke Rumoh Geudong dalam rangka melakukan kick off pertanda dimulainya penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu.

“Kick off melupakan kekerasan HAM masa lalu, dari 12 Provinsi di Indonesia terpilihlah Aceh dengan empat kabupaten dan terpilih di Pidie,” kata Wahyudi Adisiswanto dilansir ANTARA, Kamis, 22 Juni.

Presiden Jokowi dijadwalkan berkunjung ke Aceh pada Selasa (27/6) mendatang dalam rangka mengumumkan kick off penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara non yudisial.

Lokasi yang akan dikunjungi orang nomor satu tersebut yakni Rumoh Geudong. Salah satu lokasi pelanggaran HAM yang telah diakui negara beberapa waktu lalu.

Di sana, pada masa konflik Aceh lalu adanya tragedi penyiksaan terhadap masyarakat Aceh selama masa konflik Aceh 1989-1998 di Desa Bili, Kemukiman Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie.

Pantau ANTARA di lokasi Rumoh Geudong, semua bangunan sisa peninggalan masa konflik telah diratakan hanya tersisa pondasi tangga semen sebanyak lima anak tangga serta batu besar di sampingnya.

Lalu sisa bekas kamar mandi yakni sumur cincin dan WC yang telah ditutupi dengan batu-batu. Semua bangunan serta pohon besar di dalam pekarangan Rumoh Geudong telah diratakan.

Wahyudi mengatakan, agenda Presiden Jokowi ke Rumoh Geudong bukan untuk melakukan peletakan batu pertama pembangunan masjid, melainkan penarikan selubung putih tangga Rumoh Geudong.

“Ditarik untuk dihancurkan, jadi itu dilupakan semuanya, karena merupakan kenangan buruk yang tidak boleh diingat,” ujarnya.

Wahyudi berharap, generasi baru di Pidie atau Aceh secara umumnya harus terus bangkit, dan tidak boleh meninggalkan dendam terhadap luka lama tersebut.

Di lokasi tempat penyiksaan serta pembantaian masa lalu tersebut nantinya tidak akan dibangun monumen, melainkan tempat ibadah.

“Kita menolak bangunan monumen, tetapi akan membangun masjid besar agar masyarakat di sekitar lebih merasakan manfaat yang lebih besar,” demikian Wahyudi Adisiswanto.