Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah mewaspadai perburukan kualitas udara di Jakarta saat musim kemarau. Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto menyebut, kualitas udara di Ibu Kota akan makin memburuk sampai bulan Agustus nanti.

"Saat memasuki musim kemarau pada bulan Mei hingga Agustus, akan terjadi penurunan kualitas udara di wilayah DKI Jakarta yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi PM2.5. Hal tersebut terjadi karena curah hujan dan kecepatan angin rendah mengakibatkan PM2.5 akan terakumulasi dan melayang di udara dalam waktu yang lama," kata Asep dalam keterangannya, Jumat, 16 Juni.

Hasil pantauan konsentrasi PM2.5 di stasiun pemantauan kualitas udara (SPKU) milik Dinas LH DKI Jakarta menunjukkan pola diurnal yang mengindikasikan perbedaan pola antara siang dan malam hari. Konsentrasi PM2.5 cenderung mengalami peningkatan pada waktu dini hari hingga pagi dan menurun di siang hingga sore hari.

"Pada periode akhir Mei-awal Juni konsentrasi rata-rata harian PM2.5 berada pada level 47,33- 49,34 µg/m3. Selama periode tanggal 21 Mei hingga 7 Juni 2023, konsentrasi PM2.5 di wilayah DKI Jakarta mengalami penurunan kualitas udara dan berada dalam kategori sedang hingga kategori tidak sehat," urai Asep.

Sementara itu, Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK Luckmi Purwandari menyebut bahwa kualitas udara diklasifikasikan menjadi 5, yakni baik, sedang/moderate, tidak sehat, sangat tidak sehat, dan berbahaya.

Berdasarkan perhitungan ISPU hasil pemantauan kualitas udara di stasiun pemantau Gelora Bung Karno Jakarta selama tahun 2020-Juni 2023 menunjukkan kondisi udara Jakarta cenderung masuk dalam klasifikasi sedang/moderate.

Namun, Luckmi berujar, kondisi udars Jakarta pada waktu waktu tertentu di musim kemarau berada pada klasifikasi tidak sehat, yaitu bulan Agustus 2020, Mei-Juli 2021, dan Juni-Agustus 2022, dan bulan Juni 2023.

"Kondisi udara tidak sehat adalah kondisi udara dengan nilai ISPU pada rentang 101 hingga 200. Artinya, tingkat kualitas udara yang bersifat merugikan pada manusia, hewan, dan tumbuhan," jelasnya.

Melanjutkan, Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan BMKG Ardhasena Sopaheluwakan menjelaskan bahwa proses pergerakan polutan udara seperti PM2.5 dipengaruhi oleh transport angin yang bergerak dari satu lokasi ke lokasi yang lain.

“Angin yang membawa PM2.5 dari sumber emisi dapat bergerak menuju lokasi lain, sehingga menyebabkan terjadinya potensi peningkatan konsentrasi PM2.5,” ucap Ardhasena.

Kemudian, kelembapan udara relatif yang tinggi dapat menyebabkan munculnya lapisan inversi yang dekat dengan permukaan. Lapisan inversi merupakan lapisan di udara yang ditandai dengan peningkatan suhu udara yang seiring dengan peningkatan ketinggian lapisan.

“Dampak dari keberadaan lapisan inversi menyebabkan PM2.5 yang ada di permukaan menjadi tertahan, tidak dapat bergerak ke lapisan udara lain, dan mengakibatkan akumulasi konsentrasinya yang terukur di alat monitoring,” imbuhnya.