JAKARTA - RUU Kesehatan yang dibuat dalam metode Omnibus Law masih menuai pro dan kontra. Meski ada penolakan, namun RUU ini juga mendulang banyak dukungan dari kalangan medis karena dinilai dibutuhkan dalam sistem kesehatan nasional.
"Kita memang sangat membutuhkan adanya Undang-undang (UU) yang mewakili sistem nasional kesehatan kita karena selama ini sistem regulasi yang ada itu fragmented parsial dan kadang tidak harmonis antara satu kebijakan dengan kebijakan lain,” kata Pengamat Kebijakan Kesehatan, Dr. Hermawan Saputra, Kamis 8 Juni.
Menurut Hermawan, banyak regulasi setara RUU Kesehatan yang tidak bisa mewakili dan menjamin pelayanan kesehatan atau upaya perlindungan kesehatan masyarakat Indonesia. Ia memberi contoh, UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan di mana sistem kesehatan sendiri justru diatur dalam level Peraturan Presiden (Perpres).
“Beda dengan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) yang mana UU yang mengatur. Jadi ada fragmen-fragmen tersendiri di sistem kesehatan kita sekarang. Ini baru kita lihat dari situasi makro,” jelas Ketua Umum Terpilih PP Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) tersebut.
Dengan metode Omnibus Law, RUU Kesehatan akan menyederhanakan regulasi dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan mengenai sistem kesehatan di Indonesia. Penggunaan metode Omnibus Law sebagai upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan juga mampu menekan ego sektoral yang terkadang menimbulkan pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain.
Tak hanya itu, UU secara Omnibus Law yang dibentuk menggunakan cara modifikasi pun dinilai menjadikan peraturan perundang-undangan dapat beradaptasi dengan kondisi riil di masyarakat.
Hermawan menilai, omnibus law dalam RUU Kesehatan dapat menjadi aturan rigid yang komprehensif mengatur sistem kesehatan nasional. Termasuk dalam hal praktek kedokteran, keperawatan, kebinanan, dan praktek tenaga medis lainnya yang saat ini aturannya berdiri sendiri-sendiri.
“Jadi perlu diharmonisasi dan disinkronisasi. Belum lagi jika kita kaitkan lagi tentang UU yang lebih tua yaitu tentang obat. Aturan itu ada dari tahun 1949. Ada juga UU No 4 tahun 1984 tentang wabah, itu kan sudah lama sekali dan patut kita sesuaikan dengan konteks terkini,” ungkap Hermawan.
Pakar Kesehatan Masyarakat itu pun menyoroti UU tentang Rumah Sakit yang sudah berusia 14 tahun. Hermawan mengatakan, perkembangan yang ada saat ini harus disesuaikan dalam payung hukum terbaru karena adanya transformasi kesehatan dan juga dampak dari Pandemi Covid-19 sehingga harus ada kebijakan yang dapat menjadi pedoman manakala Negara menghadapi pandemi.
“Serta kajian sistem ketahanan kesehatan patut ada, semacam transisi kebijakan. Itu artinya ada penyesuaian pada level UU yang menyangkut amanah konstitusi kita dalam bernegara terutama Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) dalam UUD 1945,” papar Ahli Epidemiologi itu.
Maksud Hermawan soal Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 adalah: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Sementara Pasal 34 ayat (3) yakni: Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
“Tentu banyak yang bisa kita bahas secara poin per poin turunan kepentingan terkait urusan kesehatan yang mana kita harus sinkronisasikan semua,” ujar Hermawan.
Lebih lanjut, Dosen Program Studi Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Uhamka Jakarta itu mengatakan, ada satu isu krusial yang selama ini minim diatur dalam regulasi dan tidak menjadi arus utama, yakni menyangkut kesehatan masyarakat. Oleh karenanya, Hermawan menilai RUU Kesehatan sangat dibutuhkan karena mengatur hal tersebut.
“Kesehatan masyarakat itu ada di berbagai isu. Mulai dari isu pembiayaan yang saat ini diselenggarakan oleh BPJS. Tentu kalau kita bicara soal sistem Jaminan Kesehatan Nasional kan bukan sekadar pengobatan di faskes (fasilitas kesehatan),” sebutnya.
“Tetapi juga bagaimana penjagaan kesehatan, peningkatan produktivitas orang yang sehat dan pencegahan penyakit. Termasuk upaya promosi dan edukasi, semua itu bagian yang harus dijamin melalui program Kesehatan Nasional,” imbuh Hermawan.
RUU Kesehatan pun disebut mengakomodir upaya pengakuan terhadap berbagai rumpun profesi di berbagai bidang kesehatan masyarakat. Hermawan mengatakan, hal paling utama terkait persoalan ini adalah bagaimana tenaga kesehatan harus menjadi garda terdepan ketika kedaruratan kesehatan masyarakat terjadi karena pandemi Covid.
“Maka kita mencari tenaga epidemiolog, penyelidik kesehatan, tenaga surveilen, itu saat pandemi Covid-19 terjadi susah sekali dicari,” ucapnya.
“Belum lagi dipadu dengan tenaga promotor kesehatan, lalu bagaimana aspek keahlian kesehatan lingkungan termasuk narasi untuk kebijakan kesehatan dan komunikasinya. Itu semua harus dicakup oleh suatu regulasi,” tambah Hermawan.
UU terkait urusan kesehatan yang eksisting saat ini dinilai belum memiliki pendekatan kesehatan masyarakat seperti yang dibutuhkan manakala terjadi pandemi. Hermawan mengajak masyarakat melihat betapa gagapnya Negara saat pertama kali Indonesia menghadapi pandemi Covid-19 karena sistem dan aturannya belum mumpuni.
“Sejauh kita melihat, pada UU yang sebelumnya, hal ini kurang diperhatikan. Bahkan dalam ranah profesi seharusnya itu diperjuangkan,” tegas praktisi kesehatan lulusan Universitas Indonesia tersebut.
Seperti diketahui, ada sejumlah organisasi profesi (OP) nakes yang menolak RUU Kesehatan hingga melakukan aksi unjuk rasa, bahkan mengancam mogok kerja. Adapun kalangan praktisi kesehatan yang menolak RUU Kesehatan Omnibus Law di antaranya berasal dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).
BACA JUGA:
Penolakan terhadap RUU Kesehatan oleh sejumlah OP disebabkan oleh beberapa hal. Para nakes yang menolak RUU tersebut menilai akan terjadi kriminalisasi jika RUU Kesehatan disahkan karena ada penghilangan unsur-unsur lex specialis di dalam UU profesi di mana RUU ini apabila disahkan maka akan mencabut undang-undang (UU) tentang dokter, UU tentang dokter gigi, UU tentang perawat, UU tentang bidan, UU tentang tenaga kesehatan, dan UU tentang rumah sakit.
Dalam RUU Kesehatan, wewenang OP juga tidak lagi tunggal. Wewenang OP yang hilang tersebut terkait dengan pemberian ‘rekomendasi’ untuk mendapatkan surat izin praktek. Ada juga pertentangan mengenai pasal terkait tembakau dan alkohol.
Terkait penolakan itu, Hermawan menilai masih ada ruang diskusi antara DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk UU, bersama dengan stakeholder terkait, termasuk sejumlah OP yang menolak RUU Kesehatan.
“Pro kontra RUU Kesehatan ini harus dijembatani dengan komunikasi yang baik dan memadai sehingga kita paham kenapa aspek filosofi dan aspek sosial berdampak pada aspek yuridis untuk kajian pengembangan sistem kesehatan di Indonesia kini dan ke depan,” tutup Hermawan.