JAKARTA - RUU Kesehatan yang sedang dibahas di parlemen dinilai akan mempercepat proses digitalisasi dan inovasi teknologi dalam bidang kesehatan. Sebab dalam penerapan, akan mengintegrasikan sistem informasi kesehatan, menyajikan dan menjamin perlindungan data kesehatan individu yang berkualitas.
"Kita membayangkan kesehatan dengan sistem rujukan dan jejaring pelayanannya bukan sekadar rujukan yang konvensional atau hal-hal yang menyangkut fasilitas pelayanan rumah sakit, tetapi harus ada digitalisasi one health record atau elektronik health record,” ucap Pengamat Kebijakan Kesehatan, Dr. Hermawan Saputra, MARS. CICS, Jumat 16 Juni.
RUU Kesehatan merupakan RUU inisiatif DPR yang dinilai akan menjadi terobosan untuk negara bisa memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan, khususnya dokter. RUU ini pun disebut akan menjadi salah satu solusi dari tumpang tindihnya regulasi di bidang kesehatan yang memicu banyak program tidak dapat dilaksanakan di lapangan.
Keunggulan lain dalam RUU Kesehatan yang cukup signifikan adalah mengenai kerja sama antara klinis, peneliti, dan industri untuk menciptakan inovasi kesehatan, serta mendorong pemanfaatan teknologi kesehatan, termasuk teknologi biomedis yang terintegrasi.
"Pemerintah memiliki wacana menuju satu data bagian dari transformasi kesehatan dan ini sangat penting karena sebelumnya di dalam regulasi yang ada, itu belum diatur secara khusus, padahal penting untuk kita kedepankan," ungkap Hermawan.
Menurut Ketua Umum Terpilih PP Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) tersebut, Pemerintah dapat melakukan peningkatan kapasitas dan penguatan transformasi kesehatan jika RUU Kesehatan Omnibus Law disahkan. Termasuk juga, kata Hermawan, untuk pemerataan infrastruktur dan teknologi di seluruh Indonesia.
"Tentu ada banyak hal termasuk nanti bagaimana kita juga menyelenggarakan program-program untuk memperkuat sumber daya kesehatan, dan mempercepat produksi tenaga kesehatan dengan memperhatikan equity and equality," paparnya.
Diketahui pada tahun 2022, Indonesia telah memiliki 56 unit alat kesehatan biotech dan genom sekuensing yang tersebar di 41 laboratorium regional Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua.
Hermawan mengatakan, rendahnya inovasi kesehatan berdampak pada tingginya angka importasi hasil teknologi kesehatan. Di antaranya impor bahan mentah obat yang mencapai 90 persen per tahun 2019.
Bukan hanya itu saja, 88 persen transaksi alat kesehatan di katalog elektronik masih berupa impor, serta Produk Domestik Bruto (PDB) untuk riset dan pengembangan pada 2020 baru berkisar 0,3 persen.
BACA JUGA:
"Nah ini semua harus ada terobosan agar laju kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan dan sumber daya kesehatan itu memadai merata dan berkualitas," jelas Hermawan.
Dengan adanya inovasi teknologi di bidang kesehatan, kegagapan Indonesia menghadapi pandemi seperti di awal merebaknya virus Covid-19 diharapkan tidak akan terulang kembali. Hermawan mengingatkan, kala itu Pemerintah dibuat gagap karena sistem dan aturannya belum mumpuni.
“Sejauh kita melihat, pada UU yang sebelumnya, hal ini kurang diperhatikan. Bahkan dalam ranah profesi seharusnya itu diperjuangkan,” tegas Ahli Epidemiologi itu.
Di sisi lain, urgensi RUU Kesehatan Omnibus Law pun dapat dilihat berkaitan dengan keberpihakan anggaran yang sangat penting. Hal ini terkait dengan anggaran kesehatan dari Pemerintah Pusat hingga level terkecil di daerah yang pastinya berdampak terhadap pelayanan kesehatan masyarakat.
“Kalau kita lihat ada yg disebut SPM (Standar Pelayanan Minimal). Pada standar pelayanan bidang kesehatan, itu bagian konkuren yang melekat dan tidak terpisah dari kinerja Pemerintah Daerah (Pemda),” terang Hermawan.
“Jadi kalau bupati, walikota dan gubernur ingin berkinerja baik, maka salah satu capaiannya adalah memenuhi SPM dan itu pasti berkaitan dengan alokasi kebijakan keberpihakan terhadap kesehatan. Baik terhadap anggarannya, sumber daya, maupun program pemberdayaan kesehatan masyarakatnya,” sambungnya.
Dengan metode Omnibus Law, RUU Kesehatan akan menyederhanakan regulasi dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan mengenai sistem kesehatan di Indonesia. Penggunaan metode Omnibus Law sebagai upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan juga mampu menekan ego sektoral yang terkadang menimbulkan pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain.
Tak hanya itu, UU secara Omnibus Law yang dibentuk menggunakan cara modifikasi pun dinilai menjadikan peraturan perundang-undangan dapat beradaptasi dengan kondisi riil di masyarakat.
Hermawan menilai, omnibus law dalam RUU Kesehatan dapat menjadi aturan rigid yang komprehensif mengatur sistem kesehatan nasional. Termasuk dalam hal praktek kedokteran, keperawatan, kebinanan, dan praktek tenaga medis lainnya yang saat ini aturannya berdiri sendiri-sendiri.
RUU Kesehatan pun disebut mengakomodir upaya pengakuan terhadap berbagai rumpun profesi di berbagai bidang kesehatan masyarakat. Hermawan mengatakan, hal paling utama terkait persoalan ini adalah bagaimana tenaga kesehatan harus menjadi garda terdepan ketika kedaruratan kesehatan masyarakat terjadi karena pandemi Covid.
“Maka kita mencari tenaga epidemiolog, penyelidik kesehatan, tenaga surveilen, itu saat pandemi Covid-19 terjadi susah sekali dicari,” kata praktisi kesehatan lulusan Universitas Indonesia tersebut.
“Belum lagi dipadu dengan tenaga promotor kesehatan, lalu bagaimana aspek keahlian kesehatan lingkungan termasuk narasi untuk kebijakan kesehatan dan komunikasinya. Itu semua harus dicakup oleh suatu regulasi,” imbuh Hermawan.
Dosen Program Studi Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Uhamka Jakarta itu pun mengapresiasi DPR yang telah menggagas RUU Kesehatan. Apalagi, menurut Hermawan, DPR telah membuka ruang seluas-luasnya untuk menyerap aspirasi publik berkaitan dengan RUU yang digagas DPR ini.
“Ini penting agar hak masyarakat atas pelayanan kesehatan terakomodir dengan baik di dalam UU yang selaras juga dengan konstitusi kita bernegara,” katanya.
“Sinkronisasi atas upaya yang dilakukan DPR ini menjadi suatu stimulus untuk Pemerintah sebagai mitra memperhatikan kepentingan masyarakat, terkhusus kepentingan dalam hal kesehatan,” tambah Hermawan.
Ditambahkannya, penyerapan aspirasi harus dilakukan dengan kehati-hatian dan proporsional, baik dari masyarakat umum, ahli, dan praktisi keaehatan. Hermawan berharap, penyerapan aspirasi dalam proses pembahasan RUU Kesehatan dapat menghasilkan beleid yang komprehensif.
“Jadi kita berharap untuk pencegahan, edukasi, dan promosi jauh lebih dikedepankan sebagai filosofi dalam jaminan lingkungan hidup yang baik dan sehat,” imbaunya.
“Bila hal itu dilakukan dan terus menerus dikawal apa yang sudah disuarakan DPR, tandanya kita betul-betul terlihat komitmen untuk memperbaiki sistem kesehatan nasional lewat RUU ini,” tutup Hermawan.