Bagikan:

JAKARTA - DeBio Network, startup blockchain di bidang medis yang berhasil meraih penghargaan Healthtech Innovation of The Year Award dari CNBC Indonesia, kembali mencatat rekor pembiayaan sebesar 2,35 juta dolar AS atau sekitar Rp33 miliar.

Dalam komentarnya atas keberhasilan ini, Pandu Sastrowardoyo, CEO DeBio Network mengungkapkan pentingnya inovasi dalam layanan kesehatan, apalagi kebutuhannya memang mendesak dengan adanya pandemi yang terus berjalan.

"Teknologi kesehatan adalah sektor krusial untuk Indonesia. Dengan populasi 280 juta, potensinya begitu besar, dan akan segera jadi perhatian kita bersama," kata Pandu dalam keterangan tertulis, Sabtu 11 Desember.

Ia mengungkapkan visi lebih jauh untuk melayani seluruh penduduk dunia, bukan Indonesia saja.

"Penghargaan ini akan mendorong DeBio Network untuk terus bekerja bukan hanya untuk Indonesia saja, tapi komunitas internasional secara keseluruhan, dengan memberikan data medis untuk yang memang memilikinya. Kami percaya atas kepemilikan dan kedaulatan data bagi setiap penggunanya," jelas Pandu.

DeBio Network adalah platform medis dan biomedis anonim pertama untuk pengguna yang ingin membutuhkan tes dan sampel-sampel medis dari rumah. DeBio dibangun dengan basis substrate, framework blockchain yang ada di belakang ekosistem Polkadot & Kusama.

Dengan solusi blockchain yang digunakan, kerahasiaan dan anonimitas data pengguna dijamin untuk mereka yang membutuhkan tes dan sampel-sampel dari rumah.

"Penggunaan teknologi web3 bahkan memungkinkan penggunanya memonetisasi data kesehatan mereka dengan jaminan privasi identitas yang dipertahankan," tambahnya.

Potensi blockchain untuk inovasi layanan kesehatan

Dokter Mariya Mubarika, Dewan Pakar Perhimpunan Dokter Digital Terintegrasi Indonesia sekaligus ketua Bidang Advokasi Legislasi PB IDI, mengungkap bahwa inovasi blockchain memang dibutuhkan untuk mengembangkan dunia medis.

"Selain bisa meminimalkan insiden penyalahgunaan data, blockchain juga diakui sebagai penyedia otentikasi untuk memverifikasi akses pengguna untuk layanan data terkait kesehatan hanya menggunakan satu identitas. Selain itu juga dapat berkontribusi pada perawatan kesehatan yang dipersonalisasi," ungkap Mariya.

Lebih lanjut ia mengungkapkan, penerapan blockchain memungkinkan dokter mengawasi pasien lebih efisien.

"Blockchain membantu dokter dalam melacak data pasien dengan lebih mudah dengan menggunakan stempel waktu yang dicatat untuk setiap transaksi, sehingga pasien bisa dipantau lebih dekat dan bisa diambil tindakan cepat saat terjadi masalah kritis dan darurat," tambahnya.

Menanggapi pentingnya kerahasiaan data medis, Sigit Widodo, Pengamat Teknologi dan Informasi, menekankan bahwa perundangan memang mengamanatkan agar kerahasiaan data medis pasien, sehingga dibutuhkan inovasi untuk memastikan hal ini.

"Aturan perundangan kita memang mewajibkan perlindungan pada informasi layanan medis. Meskipun RUU Perlindungan Data Pribadi mandek di DPR, UU dan aturan kesehatan kita sudah mengatur kerahasiaan informasi layanan medis, yang ada di dalam UU No 29, tahun 2004 dan Peraturan Menteri Kesehatan No 269 Tahun 2008 tentang rekam medis," ujar Sigit.

Dokter Mariya Mubarika juga berpendapat senada. "Inovasi ini sejalan dengan upaya DPR RI dan pemerintah terkait penyusunan RUU Perlindungan Data Pribadi. Blockchain bisa menjadi pilihan sebagai sebuah sistem untuk memenuhi kewajiban institusi dalam UU yang sedang disusun, tentunya dengan tetap memperhatikan kemungkinan dampak negatif dan resiko yang bisa muncul di kemudian hari," jelas Mariya.

Mengingat potensi besarnya penduduk di Indonesia dan kualitas yang memadai, Sigit Widodo yakin teknologi yang diciptakan akan bisa menjawabnya.

"Pada dasarnya Indonesia memiliki sumber daya manusia yang mumpuni dan memiliki kemampuan berinovasi yang tinggi. Di bidang teknologi informasi dan komunikasi, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menciptakan inovasi-inovasi yang bisa diterima dunia," tambah Sigit.