Bagikan:

JAKARTA - Komitmen Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Indonesia dipertanyakan. Sebab, dalam wawancara khusus yang direkam oleh BBC Indonesia, Jokowi mengatakan di periode keduanya ini, dia akan berfokus pada pembangunan sumber daya manusia.

"Periode pertama saya fokus pada infrastruktur. Periode kedua fokus pada pembangunan sumber daya manusia, mungkin nanti setelah itu lingkungan, inovasi, kemudian hak asasi manusia. Ya kenapa tidak? Kan semuanya tidak bisa dikerjakan (sekaligus). Bukan tidak mau, tetapi memang saya senang kerja fokus, kerja prioritas," kata Jokowi pada video yang diunggah oleh BBC Indonesia, Rabu, 12 Februari.

Selain menyinggung soal hak asasi, mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga angkat bicara terkait intoleransi di tengah masyarakat yang beragam. Saat disinggung pewancara soal intoleransi yang kerap terjadi di tengah masyarakat, Jokowi membantah hal tersebut dengan menyatakan masyarakat Indonesia merupakan orang yang senang bertoleransi.

"Masyarakat Indonesia juga penuh dengan toleransi. Senang dengan demokrasi. Demokrasi dan Islam juga saling mengisi... Bahwa ada yang intoleran, bahwa ada yang namanya konflik kecil-kecil, ini negara besar yang memiliki keberagaman," ungkap mantan Wali Kota Solo tersebut.

Jokowi bisa saja menampik jika hak asasi manusia di Indonesia tetap masuk dalam prioritas meski bukan untuk saat ini. Hanya saja, Ketua SETARA Institute for Democracy and Peace, Hendardi, justru menilai sebaliknya. Kata dia, hak asasi manusia di Indonesia akan menuju lorong gelap jika ditakar dari pernyataan Jokowi tersebut karena pengusutan kasus pelanggaran HAM bukanlah prioritas.

Selain itu, meletakkan HAM di luar hal prioritas juga menggambarkan pemerintahan Presiden Jokowi tak punya pemahaman lebih soal hak asasi.

"Hak asasi manusia adalah paradigma bernegara, bukan semata kasus atau pelanggaran HAM. Jokowi semestinya meletakkan HAM sebagai paradigma dalam pembangunan infrastruktur, kebijakan investasi, penguatan SDM dan agenda pembangunan lainnya," kata Hendardi kepada VOI lewat keterangan tertulisnya, Minggu malam, 16 Februari.

Menurut aktivis ini, jika pemerintah berhasil memahami artian hak asasi secara luas maka sinergitas manusia dan pembangunan akan berjalan. "Agenda HAM bisa diintegrasikan dalam seluruh kinerja pemerintahan," tegasnya.

Hendardi juga menyayangkan pernyataan Jokowi dalam wawancara khusus tersebut. Menurut dia, seorang presiden harusnya tidak memilih tugas mana yang lebih penting dan mana yang bisa dikerjakan nanti.

Menurutnya, sebagai seorang pemimpin negara, sudah jadi tugas Jokowi untuk memastikan rakyatnya sejahtera, terlindungi, menjamin rakyatnya memperoleh keadilan, menyelesaikan kasus termasuk dalam kasus pelanggaran HAM, dan menjamin adanya kesetaraan dalam beragama atau berkeyakinan.

Sehingga, untuk menyelesaikan tugas tersebut, Presiden Jokowi kemudian punya kewenangan untuk mengangkat menteri dan pejabat setingkat menteri untuk membantunya. Namun, Hendardi tak menampik, untuk menyelesaikan segala tugas tersebut para pembantu Jokowi tentu harus cakap dalam melaksanakan tugasnya.

Jika sudah cakap, maka, tak akan ada alasan lagi bagi pemerintah menunda-nunda tugas yang harus mereka selesaikan, termasuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan intoleransi yang merupakan agenda pemerintah yang sudah tercantum di Nawa Cita periode 2014-2019 lalu, namun tertunda dan belum jelas penyelesaiannya.

Peluru untuk selesaikan kasus pelanggaran HAM

Terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM, Hendardi mengatakan sebenarnya Jokowi sudah punya peluru untuk menyelesaikannya. Peluru yang disinggungnya itu adalah soal gagasan pembentukan Komite Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran yang tercantum dalam Nawa Cita periode 2014-2019.

Komite ini - yang sekarang masih berwujud rancangan undang-undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) - dianggap menjadi jalan tengah untuk merintis penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Sebab, komisi ini adalah mengungkap kebenaran, tanpa terjebak penyelesaian yudisial atau non yudisial.

"Jika Komisi ini selesai menjalankan tugas pengungkapan kebenaran, berikutnya adalah mendiskusikan makna dan jalan keadilan yang bisa banyak variannya," kata Hendardi.

Hanya saja, di periode kedua ini, Presiden Jokowi seakan kehilangan minatnya untuk melakukan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi di masa lalu maupun yang saat ini terjadi. Padahal, ini adalah periode terakhir dirinya menjabat sebagai orang nomor satu.

"Jokowi justru mengurungkan niatnya pada periode II ini, dengan alasan prioritas kepemimpinanya adalah pemajuan ekonomi-kesejahteraan dan penguatan SDM. Lalu kapan janji penuntasan bidang HAM akan dipenuhi? Sedangkan Jokowi sudah memasuki periode kedua," ungkapnya.

Tak cakap hadapi intoleransi

Hendardi bukan hanya mengomentari soal pernyataan Jokowi yang menganggap hak asasi manusia bukan jadi prioritas tapi juga berkomentar soal intoleransi yang ada di tengah masyarakat.

Meski Presiden Jokowi mengatakan masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang toleran dan wajar ada sedikit tindakan intoleransi, namun Hendardi menilai, pernyataan itu adalah sebuah bukti jika negara tak tahu lagi mau diapakan sikap intoleransi di tengah masyarakat.

"Komitmen Jokowi tampak hanya ditujukan untuk menjustifikasi tindakan politiknya menunjuk sejumlah menteri yang oleh Jokowi dianggap memiliki kecakapan penangan intoleransi," ujar Hendardi.

Memang, beberapa waktu belakangan, kasus intoleransi di tengah masyarakat pesat terjadi. Salah satu contohnya adalah polemik pembangunan Gereja Katolik Santo Joseph Tanjung Balai, Karimun, Kepulauan Riau yang ramai di media sosial beberapa waktu yang lalu. Diketahui, polemik pembangunan gereja tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2013.

Belakangan, aksi massa juga sempat terjadi pada saat peletakan batu pertama renovasi gereja tersebut pada 25 Oktober 2019 dan buntutnya, pembangunan gereja terpaksa dihentikan karena penerbitan izin mendirikan bangunannya digugat oleh sekelompok warga setempat.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengklaim kasus ini sudah diselesaikan bersama antara pihak gereja dan pihak lainnya, seperti pihak pemerintah daerah dan pihak forum umat Islam setempat di depan Menteri Agama tapi kasus semacam ini justru mengesankan pemerintah masih belum punya cara jitu untuk menangani intoleransi.

Terkait polemik pembangunan gereja di Karimun ini, Mahfud sempat membantah ada tindak intoleran yang dilakukan kelompok agama tertentu dan menyebut polemik itu hanya terjadi di media sosial.

Berkaca dari hal tersebut, maka Hendardi menilai banyak menteri ataupun pejabat otoritas yang sebenarnya tak punya cara menangani intoleransi di tengah masyarakat.

"Nyatanya, sejumlah menteri dan kepala badan atau lembaga tidak memiliki agenda terpadu dan mendasar dalam menangani intoleransi," kata dia sambil menambahkan jika peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan terus terjadi dan pada saat bersamaan disangkal oleh elemen-elemen negara.

Sehingga, dengan waktu memimpin yang masih begitu panjang hingga 2024 mendatang, pemerintah Jokowi-Ma'ruf Amin punya waktu untuk membuktikan janji-janji mereka, termasuk soal hak asasi manusia dan penyelesaian sikap intoleransi di tengah masyarakat.

"Jokowi masih punya waktu dan mesti menjawab harapan publik yang setia memberikan dukungan pada periode II dan percaya bahwa janji penuntasan pelanggaran HAM dan intoleransi akan ditunaikan pada periode II ini," tutupnya.