JAKARTA - Pemerintah menyoroti tingginya kasus COVID-19 di daerah-daerah yang melakukan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). PPKM jilid II akan diperpanjang dari 26 Januari hingga dua minggu ke depan. Kebijakan ini akan semakin membuat pengusaha ritel dan pusat perbelanjaan tertekan.
Saat ini, kondisi peritel dan pusat perbelanjaan sudah kritis. Pandemi COVID-19 dan pembatasan kegiatan masyarakat membuat okupansi atau keterisian pusat perbelanjaan anjlok. Sehingga berdampak pada cash flow atau arus kas perusahaan.
Di masa PPKM jilid I ini, tingkat okupansi mal turun 8 persen menjadi 32 persen. Padahal sebelum PPKM diberlakukan, tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan atau okupansi berada di angka 40 persen dari kondisi saat aturan transisi. Penurunan jumlah pengunjung ini dikarenakan adanya pembatasan jam operasional pusat perbelanjaan yang hanya sampai pukul 19.00 WIB.
Belum lagi, aturan dine in atau makan di tempat yang hanya diizinkan sebanyak 25 persen, ditambah adanya aturan 75 persen work from home (WFH) dan hanya 25 persen yang boleh work from office (WFO). Kondisi ini memaksa pusat belanja dan para tenant untuk mengurangi tenaga kerja.
Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan untuk bisa bertahan lebih lama, pengusaha ritel harus bisa menjaga arus kas mereka agar tetap sehat. Karena itu, ritel butuh bantuan pemerintah.
"Kondisi peritel itu sudah kritis, sudah pakai ventilator ibaratnya. Butuh oksigen untuk bisa bernapas. Sudah sangat sulit," tuturnya, saat dihubungi VOI, di Jakarta, Jumat, 22 Januari.
Oksigen yang dimaksud oleh Budi adalah bantuan dana segar. Ia menjelaskan, dana ini digunakan untuk membayar gaji karyawan, membayar uang sewa kepada pengelola mal serta membayar cicilan kepada supplier. Sehingga, terjadi perputaran arus kas.
"Butuh bantuan keuangan agar jantungnya berdetak. Karena dia (pengusaha ritel) perlu yang membayar utang. Sekarang kan nombokin ini itu, pemerintah harus nyuntik. Di luar negeri itu yang dilakukan, sudah tahu. Supplier tidak boleh tutup dan harus buka. Ritel ini mesin, kalau ritelnya macet ekonomi tidak akan jalan," ucapnya.
BACA JUGA:
Di sisi lain, Budi berujar bahwa aturan baru pada PPKM jilid II di mana mal dan restoran diizinkan untuk beroperasi hingga jam 20.00 WIB, dari sebelumnya 19.00 WIB, paling tidak, cukup membantu.
"Paling tidak, ada harapan. Restoran bisa buka sampai jam 20.00 WIB, ini akan memunculkan minat masyarakat datang ke mal. Karena kalau restorannya tutup cepat, orang akan malas ke mal dan berdampak pada toko lain di dalam mal," tuturnya.
Meski begitu, Budi menyayangkan aturan 25 persen aturan restoran untuk melayani makan di tempat. Menurut Budi, aturan ini masih menekan minat masyarakat untuk datang ke mal.
"Sampai saat ini mal bukan menjadi klaster penyebaran COVID-19. Kami sudah menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat. Seharusnya pemerintah memberikan kesempatan bagi pengusaha yang telah menerapkan protokol kesehatan untuk buka lebih lama," ucapnya.
Kata Budi, dirinya menyadari bahwa saat ini kasus aktif COVID-19 di Tanah Air memang tinggi. Karena itu, kebijakan yang diambil pemerintah formulanya harus pas san tidak bisa dipukul rata untuk.
"Misalnya sakit perut dan sakit kanker kan tidak bisa disamakan obatnya. Mal itu kami menerapkan protokol kesehatan yang berlapis. Masuk mal diperiksa, mau masuk supermarket juga diperiksa lagi, masuk ritel fesyen diperiksa. Kasih dong kesempatan kita okupansinya 50 persen. Itu baru formula kebijakan yang pas," tuturnya
Okupansi yang hanya 25 persen, kata Budi, tidak menutup kemungkinan akan membuat pengusaha mengurangi pegawainya. Namun, di sini bukan PHK murni melainkan dirumahkan untuk sementara.