Bagikan:

JAKARTA - Konflik berminggu-minggu antara tentara Sudan dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) telah membuat 82.000 anak melarikan diri ke negara-negara tetangga, dan sekitar 368.000 anak lainnya mengungsi di dalam negeri.

Lebih dari 164.000 warga Sudan mencari perlindungan di Republik Afrika Tengah, Chad, Mesir, Ethiopia, Libya, dan Sudan Selatan sejak aksi kekerasan meletus pada 15 April 2023, menurut badan pengungsi PBB (UNHCR).

Terbaru, Badan Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa(UNICEF) menyatakan sedikitnya 450.000 anak di Sudan terpaksa meninggalkan rumah mereka karena pertempuran yang sedang berlangsung.

"Konflik brutal di Sudan telah menimbulkan korban anak-anak di negara itu. Ribuan anak mengalami peristiwa yang sangat traumatis atau terusir dari rumah mereka untuk mencari keamanan," kata Direktur Eksekutif UNICEF Catherine Russell, dikutip ANTARA, Sabtu. 13 Mei.

UNICEF juga memperingatkan bahwa musim hujan dapat meningkatkan risiko penyakit.

Pada Kamis malam (11/5), pihak-pihak yang bertikai di Sudan menandatangani komitmen untuk mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan.

Sejak 15 April lalu, lebih dari 550 korban tewas dan ribuan lainnya luka-luka dalam pertempuran antara dua jenderal yang bersaing yaitu panglima militer Abdel Fattah al-Burhan dan komandan RSF Mohammed Hamdan "Hemedti" Dagalo.

Konflik itu dipicu ketidaksepakatan yang muncul dalam beberapa bulan terakhir di antara kedua pihak tentang integrasi RSF ke angkatan bersenjata, yang merupakan syarat utama dari perjanjian transisi Sudan dengan kelompok-kelompok politik.

Sudan tidak memiliki pemerintahan yang berfungsi sejak musim gugur 2021, ketika militer membubarkan pemerintahan transisi Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan mengumumkan keadaan darurat dalam sebuah langkah yang dikecam oleh kekuatan politik sebagai kudeta.

Masa transisi, yang dimulai pada Agustus 2019 setelah penggulingan Presiden Omar al-Bashir, dijadwalkan berakhir dengan pemilu pada awal 2024