Bagikan:

MATARAM - Pasangan kekasih yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan aborsi menjalani pernikahan di Kantor Kepolisian Resor Kota (Polresta) Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Kapolresta Mataram Kombes Mustofa mengatakan, pernikahan tersangka H (39) dengan kekasihnya N (36) merupakan tindak lanjut dari pengajuan pihak keluarga dan telah mendapatkan surat permohonan dari Kantor Urusan Agama (KUA).

"Oleh sebab itu, kami dari Unit PPA Satreskrim Polresta Mataram memberikan pendampingan dengan menyediakan ruang untuk proses pernikahan keduanya," kata Mustofa di Mataram, Antara, Selasa, 2 Mei. 

Dia menyampaikan bahwa pihaknya memfasilitasi pernikahan kedua tersangka di Mushala Polresta Mataram pada Senin kemarin. 

Dalam acara sakral tersebut, jelas dia, turut hadir pihak keluarga, wali dan perangkat desa dari masing-masing tersangka.

Lebih lanjut, Kepala Satreskrim Polresta Mataram Kompol I Made Yogi Purusa Utama mengatakan, penanganan kasus kedua tersangka kini dalam tahap penyidikan.

"Penyidik masih menunggu hasil penelitian berkas oleh pihak kejaksaan," ujar dia

Dengan adanya pernikahan tersebut, Yogi meyakinkan bahwa berkas perkawinan kedua tersangka akan terlampir dalam berkas di pengadilan.

"Sesuai permintaan pengacara kedua tersangka, berkas perkawinan akan kami lampirkan dalam berkas perkara kebutuhan persidangan," ucapnya.

Kasus dugaan aborsi ini terungkap pada akhir tahun 2022. Pihak kepolisian menangani kasus ini usai menerima laporan dari pihak rumah sakit di Kota Mataram.

Dalam laporan, pihak rumah sakit menemukan adanya pasien unit gawat darurat (UGD) yang mengalami keguguran kandungan.

Setelah melalui proses interogasi awal terungkap bahwa perempuan tersebut, yakni tersangka N telah meminum obat untuk menggugurkan kandungan.

"Obat itu (penggugur kandungan) diminum berdasarkan kesepakatan dari kedua tersangka. Yang laki-laki menjanjikan akan menikahi usai perempuan menggugurkan kandungannya," kata Yogi.

 

Sebagai tersangka, keduanya dikenakan sangkaan Pasal 348 ayat (1) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman pidana hukuman paling lama 5 tahun penjara.