YOGYAKARTA – Belum lama ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Pekalongan dan Sukabumi mendapat banyak kritik lantaran tidak mengizinkan warga Muhammadiyah melakukan Salat Id di lapangan.
Salah satu kritikan datang dari Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay. Dia mengatakan, tidak adanya pemberian izin bagi warga yang akan melaksanakan Salat Id di lapangan bagi warga Muhammadiyah sangatlah tidak bijaksana.
Apalagi, pemerintah belum mengumumkan keputusan resmi terkait pelaksanaan Idulfitri bagi warga Nahdlatul Ulama (NU). Bisa jadi, kata dia, hasil keputusan pemerintah akan sama dengan Muhammadiyah.
"Melarang pelaksanaan Salat Id (di lapangan, red) pada 21 April itu sangat tidak bijaksana. Bisa jadi, mereka (NU dan Muhammadiyah) justru bisa sama-sama melaksanakan salat pada hari yang bersamaan," ujar Saleh, Senin, 17 April, menyadur VOI.
Usai menerima banyak kritik, Pemerintah Kota Pekalongan dan Sukabumi mengizinkan warga Muhammadiyah menggelar Salat Id di lapangan.
Lantas, bagaimana sejarah Salat Id di Lapangan? Siapa yang pertama kali mengemukakan gagasan ini? Simak informasi selengkapnya berikut ini.
Sejarah Salat Id di Lapangan
Pelaksanaan salat ied di lapangan sudah dilaksanakan sejak dulu dan memiliki sejarah panjang yang menyertainya.
Menurut catatan sejarah, yang pertama kali mempopulerkan salat ied di lapangan adalah Muhammadiyah—salah satu organisasi kegamaan terbesar di Indonesia.
Mulanya, gagasan ini tidak lazim dilakukan dan banyak penolakan ketika diterapkan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, praktik salat di tanah lapang bisa diterima dan dianggap sebagai sesuatu yang lumrah.
Disadur dari laman resmi Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (2010), menyebut Muhamadiyah pertama kali menggelar Salat Id di lapangan paada 1926. Kala itu, Salat Id digelar di Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta.
Haedar menerangkan, Kiai Ahmad Dahlan yang wafat 1923 itu telah berusaha memahamkan umat Islam agar mengikuti Sunnah Nabi Saw dengan Salat Id di lapangan terbuka.
Pada tahu 1920-an, umat muslim Indonesia yang mayoritas bermazhab fikih Syafi’i memang melaksanakan Salat Id di masjid atau dengan kata lain dipimpin oleh imam di dalam masjid karena menganggap keberadaan masjid lebih utama.
Sementara menurut St. Nurhaya, dkk dalam buku bertajuk Muhammadiyah dalamPerspektif Sejarah, Organisasi, dan Sistem Nilai (2019), Muhammadiyah melakukan Salat Id di lapanngan setelah mendapat kritikan dari seorang tamu yang berasal dari India. Kritikan ini dilontarkan pada masa kepemimpinan Kiai Ibrahim (1923-1933).
Tamu dari India itu mengkritik Muhammadiyah karena melaksanakan Salat Idulfitri di dalam Masjid Keraton Yogyakarta.
Meurut tamu tersebut, Muhammadiyah yang telah memposisikan diri sebagai gerakan Tajdid (penceharan) harusnya bisa melaksanakan Salat Idulfitri dan Iduladha di lapangan, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Muhammadiyah menggunakan Masjid Keraton Yogyakarta sebagai lokasi Salat Ied karena ingin memberikan peghormatan Sultan Hamengkubuwono VII karena telah mengizinkan Kiai Ahmad Dahlan yang saat itu sebagai pemimpin Muhammadiyah, menggelar perayaan hari besar Islam dengan tanggal yang berbeda dengan Keraton.
Pasalnya, Muhammadiyah memakai sistem hisab dan Kalender Hijriyah, berbeda dengan Keraton yang memakai penanggalan tradisional Jawa atau Aboge sehingga terdapat perbedaan tanggal hari besar Islam.
Salat Id di Lapangan Dipopulerkan Muhammadiyah
Muhammadiyah mulai mempopulerkan Salat Id di lapangan setelah Muktamar 1926.
Keberadaan Muktamar ini sekaligus menjadi titik awal para ulama Muhammadiyah membentuk Majelis Tarjih guna membahas seputar peribadatan.
Atas keputusan Muktamar 1926, berbagai konsul dan cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia mulai rutin menggelar ibadah Salat Id di tanah lapang di tahun-tahun berikutnya.
Demikian informasi tentang Sejarah Salat Id di lapangan. Untuk mendapatkan berita menarik lainnya, baca terus VOI.ID.